Resensi Novel "Candik Ala 1965"
Judul : Candik Ala 1965 – Sebuah Novel
Penulis : Tinuk R. Yampolsky
Penulis : Tinuk R. Yampolsky
Jenis Buku : Novel
Sejarah
Penerbit :
KataKita
Tahun Terbit : Juni 2011
Tebal halaman : 222 halaman
Tebal halaman : 222 halaman
Berpikir Lebih Jernih dalam Menyikapi Sejarah
yang Kelam
Novel
Candik Ala 1995 ini ditulis oleh Tinuk R. Yampolsky. Kisah yang diceritakan
dalam novel ini merupakan kisah nyata penulis sendiri yang mengalami peristiwa
penumpasan para anggota PKI pada tahun 1965. Candhik ala merupakan sebuah
istilah dalam bahasa Jawa yang berarti warna kuning kemerahan di langit menjelang
sore hari. Peristiwa Candhik ala ini menggambarkan rasa sedih dan sepi karena
pada saat candhik ala muncul, orang-orang tidak diperkenankan untuk melakukan
aktivitas apapun dan biasanya anak-anak disuruh masuk rumah supaya tidak
dijadikan mangsa Batara Kala.
Novel
Candik Ala 1965 ini menceritakan salah satu peristiwa kelam yang dialami bangsa
Indonesia, yakni pencidukan dan penumpasan para anggota PKI atau oknum-oknum
yang diduga terlibat dalam gerakan PKI tahun 1965. Pada waktu itu, PKI dituduh
sebagai dalang dari peristiwa G 30 S. Peristiwa pencidukan para anggota PKI
dalam novel ini dilihat dari sudut pandang seorang anak kecil yang bernama Nik.
Secara khusus, diceritakan bahwa peristiwa tersebut terjadi di kota Solo tempat
tinggal Nik dan keluarganya. Nik merupakan seorang anak kecil berusia 7 tahun
yang melihat peristiwa kelam tersebut tanpa mengetahui persisnya apa yang
sedang terjadi. Ia hanya mengerti, para tentara menciduk tetangga-tetangganya satu
per satu dan akhirnya mendengar bahwa akhirnya mereka dibunuh. Selain itu, ia
juga hanya tahu kalau salah seorang temannya yang bernama Sarjono dijauhi dan
disingkirkan oleh teman-temannya oleh karena keluarga Sarjono terlibat dalam
PKI. Ketidaktahuan Nik yang masih polos terhadap peristiwa penumpasan anggota
PKI tersebut dibawa hingga ia dewasa. Nik akhirnya mengerti apa yang sebenarnya
terjadi dalam peristiwa penumpasan anggota PKI pada waktu ia masih kecil.
Peristiwa kelam yang dialaminya pada waktu kecil digambarkan seperti candhik ala
di senja hari di mana ada rasa sedih dan
sepi.
Novel
ini menggunakan sudut pandang seorang anak kecil yang masih sangat polos dan
tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini menjadi sebuah keunggulan,
karena isi cerita menjadi lebih obyektif dan tidak ada unsur yang subyektif
memihak salah satu pihak. Apa yang dirasakan dan dialami oleh seorang anak
kecil lebih menggambarkan kelamnya situasi saat itu, di mana ada ketakutan,
kecemasan, kebencian dan ketidakbebasan.
Selain itu, novel ini ditulis dengan bahasa
yang halus, jelas, sederhana dan mudah dipahami. Pilihan kata yang dipakai
dalam novel ini sangat menarik pula. Ada beberapa istilah dalam bahasa Jawa dan
Inggris yang terasa lebih menyentuh dalam beberapa bagian novel ini. Misalnya
istilah clemongan yang berarti asal berbicara. Begitulah, dengan
segala keganjilan tingkahnya dan clemongannya, ia kemudian menjadi bagian dari
komunitas kami.[1]
Pilihan kata clemongan ini terasa lebih dalam maknanya dibandingkan
dengan istilah asal berbicara. Penulis juga memberikan contoh-contoh
langsung dari peristiwa yang dialaminya dan menceritakan secara detail dalam
bagain tersebut. Misalnya pada bagian Bapaknya menulis surat untuk kakaknya.
Isi surat itu dilampirkan secara detail. Anakku, Ngger, Masihkah kamu jadi
anakku? Siapa Mbranang itu? Rasa-rasanya ibu dan bapakmu tak pernah menamakanmu
dengan nama seasing itu. Jangan tambah runyam situasi keluarga ini dengan
bentuk pertentangan yang lain. Buang nama sangar itu. Ibu-bapak ngerti kamu
sedang susah dan kalah oleh situasi sekarang. Tapi tetaplah jadi anakku. Anakku
dengan nama yang kukenal. Jangan sampai kesasar hidupmu, Nak. Doa restu,
Bapak-Ibu.[2]
Hal ini menambah daya tarik pembaca untuk lebih memahami peristiwa yang
sebenarnya terjadi.
Akan
tetapi, ada beberapa hal yang sekirannya menjadi perhatian dari novel ini.
Pertama, latar belakang penulis sebagai orang Jawa mendorongnya untuk menggunakan
istilah-istilah dalam bahasa Jawa dalam tulisannya yang dirasa memiliki makna
lebih dalam. Sayang, dalam novel ini tidak ada catatan kaki yang menunjukkan
definisi dari istilah-istilah Jawa tersebut. Ada sedikit catatan akhir yang
memberikan definisi beberapa istilah Jawa, namun itu tidak sebanding dengan
jumlah istilah Jawa yang dipakai dalam seluruh isi novel. Hal ini membuat para
pembaca non Jawa kesulitan untuk memahami isi novel ini. Kedua, dalam bagian kedua dari isi novel ini,
alur ceritanya menjadi semakin berbelit-belit dan sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan peristiwa 1965 seperti bagian “Di kamar seorang penyair, Tris
dan Si Gagap penyair dari kampong tetangga.”[3]
Pada bagian tersebut, alur cerita
kurang menarik dibandingkan dengan bagian-bagian sebelumnya, karena kurang
koheren dengan bagian sebelumnya yang menceritakan Nik bersama keluarganya
dengan ketakutan dan ketidaktahuan yang dirasakannya. Ketiga, beberapa hal
teknis tentang lay out novel juga masih kurang. Tidak adanya daftar isi
dan pembagian bab-bab dalam novel dapat menyulitkan pembaca dalam menangkap
alur cerita. Ketiga hal inilah yang sekiranya menjadi kekurangan dalam novel
ini.
Novel
Candik Ala 1965 ini, mengingatkan kita sebagai bangsa Indonesia akan peristiwa
pahit yang terjadi pada tahun 1965. Peristiwa pahit tersebut tentunya akan
terus dikenang oleh alam bawah sadar kita karena hal itu sudah seperti menjadi
bagian dari hidup kita. Peristiwa tersebut sangatlah menyedihkan dan
menyesakkan hati serta pikiran terutama bagi para korban yang mengalaminya.
Dalam novel yang dituturkan oleh seorang anak kecil ini, dapat kita tanggap
sebuah amanat yang hendak disampaikan penulis. Amanat tersebut ialah kita diajak
untuk berpikir lebih jernih dalam menyikapi sejarah yang kelam dan melakukan
suatu perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Secara tidak langsung,
novel ini juga mengajak kita, para pembaca untuk tidak begitu saja menghakimi
PKI sebagai dalang dari peristiwa G 30 S karena sampai sekarang peristiwa
tersebut masih menjadi misteri. Oleh
sebab itu, novel ini sangat patut dibaca oleh kita semua terutama seluruh warga
negara Indonesia agar kita dapat berefleksi bersama-sama mengenai situasi
negara kita. Dengan demikian, kita dapat bekerja sama mewujudkan Indonesia yang
lebih maju.
Commentaires
Enregistrer un commentaire