Kurikulum 2013 dan Pendidikan Karakter bagi Guru SD
Kurikulum 2013
dan Pendidikan Karakter bagi Guru SD
Antonius Siwi
Dharma Jati, SJ
Perubahan kurikulum
Pemerintah hendak mengubah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang sudah diterapkan sejak tahun 2006 menjadi Kurikulum 2013 yang akan berlaku
mulai tahun ajaran 2013-2014. Menteri Pendidikan dan kebudayaan Muhammad Nuh
mengatakan bahwa kurikulum baru tetap mengutamakan kompetensi dengan menekankan
pada kepribadian, kreativitas serta pengetahuan (26/11/12).Namun, tujuan utamaperubahan
kurikulum ini ialah untuk membangun karakter siswa yakni mendorong mereka untuk
memiliki empati dan toleransi (02/11/12) dan juga sikap-sikap kepemimpinan.Menurut
Muhammad Nuh, perubahan kurikulum ini lebih tepat disebut sebagai penyempurnaan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan pendidikan di Indonesia saat
inidan untuk generasi 15-20 tahun ke depan, lebih mengarah ke pendidikan
karakter yang sampai sekarang belum terlalu ditekankan.
Agus Suwignyo (26/11/12) menuturkan bahwa perubahan kurikulum ini
dilandasi keprihatinan atas hilangnya akhlak mulia, rendahnya moral dan etika
berbangsa, menguatnya radikalisme, dan melemahnya toleransi.Oleh sebab itulah,
dibutuhkan sebuah kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan dari
keprihatinan-keprihatinan tersebut.Kurikulum baru yang lebih dikenal sebagai
Kurikulum 2013 ini hendak diterapkan dengan cara pengurangan mata pelajaran
yang selama ini dirasa terlalu padat sehingga cukup membebani siswa. Rancangan kurikulum 2013 hendak merubah jumlah mata pelajaran
di Sekolah Dasar yang semula berjumlah 12 mapel menjadi 6 mapel saja, yakni:
Agama, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya dan Pendidikan Jasmani.
Sementara itu, mapel IPA dan IPS akan diintegerasikan dengan mapel yang lain.
Tulisan ini, secara khusus akan membahas tentang penerapan Kurikulum
2013 di SD dan juga pendidikan karakter bagi para guru sebagai solusi karena sebenarnya
persoalan utama pendidikan bukan terletak pada jenis kurikulum yang diterapkan.
Lebih dari itu, faktor kualitas guru atau pengajar SD masih kurang.
Kebobrokan mental
dan demam egoisme
Kurangnya kompetensi guru dalam menjalankan sebuah kurikulum pendidikan
memang menjadi kendala.Sebagaian besar guru SD bahkan tidak paham bagaimana
caranya menerapkan kurikulum dalam proses belajar-mengajar. Bagi para guru
senior, yakni mereka yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun, secara teori
mereka sudah menggunakan Kurikulum Pemerintah seperti menggunakan buku-buku
paket yang sesuai dengan kurikulum. Akan tetapi, dalam praktiknya, konsep
kurikulum yang ada dalam kepala mereka masih berupa konsep lama yang sudah
mereka terapkan selama bertahun-tahun mengajar.
Untuk mengembangkan mutu pendidikan di Indonesia, hal yang utama perlu
diperhatikan ialah kualitas para guru itu sendiri.Pendidikan dasar, seperti SD
bukan perkara kecil yang bisa diabaikan. Mutu pendidikan SD akan menjadi
pondasi dan sangat menentukan pendidikan-pendidikan selanjutnya. Para siswa SD
umumnya berusia 6-12 tahun.Usia tersebut merupakan usia yang genting untuk
diperhatikan, karena cara berpikir dan pandangan siswa sangat dipengaruhi oleh
apa saja yang mereka tangkap. Hampir 50% dari kapasitas siswa diserap pada sat
memasukiusia tersebut. Sebagai sebuah
analogi, dalam usia tersebut, kinerja otak para siswa bagaikan sebuah tape recorder yang mampu merekam apa
saja yang mereka tangkap dan itu menjadi dasar cara berpikir mereka. Ketidakpedulian
pemerintah atau pihak pengajar terhadap pendidikan dasar dapat menjadi suatu
kesalahan besar dan fatal.
Fakta keadaan guru-guru di SD di atas, menunjukkan bahwa sebenarnya para
guru SD di Indonesia kurang akan pelatihan sehingga kurang memiliki kesadaran
akan pentingnya peran mereka dalam pendidikan di Indonesia. Faktor kompetensi
para guru yang beraneka ragam memang tidak bisa disamakan dalam hal cara
berpikir dan mengajar. Buruknya kualitas guru-guru SD bukan hanya disebabkan
oleh kompetensi mereka yang masih lemah, tetapi lebih dari itu disebabkan oleh bobroknya
mental mereka sebagai role model.
Dalam program sertifikasi guru yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas seorang guru dalam mengajar sering disalahgunakkan.Sertifikasi lebih
dimanfaatkan untuk menyejahterakan diri mereka sendiri daripada untuk
mengembangkan kualitas pendidikan. Guru-guru yang sudah mendapatkan sertifikasi
tentu akan mendapatkan uang tunjangan. Itulah tujuan utama mereka yang sudah
melenceng dari tujuan awal sertifikasi.Hal ini bagaikan penyakit demam egoisme
di mana kepentingan diri sendiri lebih diutamakan daripada kepentingan orang
banyak.Maka dari itu, tidak mengherankan jika para guru melakukan tindakan
curang seperti mencontek saat tes sertifikasi demi mendapatkan ijazah instan.Bahkan
demi mendapatkan ijazah instan tersebut, beberap guru juga rela menyuap dengan
sejumlah uang (23/11/12).
Selain itu, program sertifikasi juga memberlakukan sistem kuota
mengajar.Supaya dapat terus-menerusmendapatkan tunjangan pemerintah, para guru
berusaha untuk menambah kuota mengajar. Dampaknya, mereka akan menggunakan
segala cara untuk menarik banyak murid di sekolahnya sehingga kuota jam
mengajar dapat terpenuhi. Secara umum, cara bertindak para guru masih dalam
tahap kepala dan belum sampai ke hati.Keadaan semacam ini jelas-jelas
memprihatinkan.Hal ini merupakan suatu kenyataan yang parah dan perlu disadari
untuk suatu gerakan perubahan.Semestinya para guru mengabdi dan bekerja dalam
dengan kepala, hati dan tangan (3H:Head, Heart and Hand). Sebaliknya, demam
egoisme hanya akan menyuburkan kebobrokan pendidikan di Indonesia.
Guru sebagai role model
Pelatihan para guru sangat penting untuk menerapkan kurikulum baru.Maka
dari itu perlu adanya sosialisasi dan petunjuk yang jelas.Sebagai contoh
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak ada sosialisasi yang jelas,
juga petunjuk sehingga dapat dikatakan gagal.Oleh sebab itu, diperlukan guru
yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya, inspiratif dan mampu menyentuh hati
para siswa.Guru yang dibutuhkan saat ini diharuskan memiliki kompetensi yang
unggultetapi juga karakter yang baik dan humanis(26/11/12).Guru yang hanya
punya kemampuan intelektualitas yang memadai tanpa diimbangi dengan karakter
yang baik sebagai pengajar, akan kesulitan menyalurkan ilmunya kepada para
siswa.
Rancangan Kurikulum 2013 ini hanya akan menjadi sia-sia tanpa adanya respon
positif dari pihak guru. Secara khusus, Wakil Presiden Boediono mengimbau
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meningkatkan kualitas para guru
dengan cara memberikan pelatihan supaya kurikulum baru dapat berjalan sesuai
dengan rencana (14/11/12). Maka, perlu diadakan pelatihan khusus dan
sosialisasi Kurikulum tersebut bagi para pengajar.Pelatihan sebaiknya dilakukan
bukan hanya melatih supaya para guru punya kompetensi, tetapi juga supaya guru
mempunyai karakter yang baik yang dapat menjadi teladan bagi para siswa.
Oleh sebab itu, kurikulum 2013 yang sebentar lagi akan diterapkan ini,
hendaknya diimbangi dengan antusiasme para guru dan motivasi mengajar dan
mengembangkan pendidikan Indonesia.antusiasme dan motivasi mengajar tersebut
hendaknya ditunjukkan dalam keteladanan karakter yang baik bagi para siswa.
Jika tidak demikian, kurikulum baru ini tak ubahnya dengan sebuah perencanaan
yang hanya baik secara konsep tetapi tidak ada hasil perubahan yang nyata.
Dalam hal ini, peran guru menjadi sentral dalam pendidikan di
Indonesia.Bagaimana mungkin para siswa dapat memiliki karakter yang baik jika
para guru sendiri tidak memilikinya?Maka dari itu, perlu diadakan pendidikan
karakter bagi para guru SD. Tentu saja sangat sulit untuk merubah karakter para
guru senior yang sudah mendarah-dagingkan kebobrokan mental mereka dalam
mengajar.Kebobrokan mental itu nampak juga dalam prinsip “Kerja baik atau buruk
tetap dibayar”.Oleh sebab itu, solusi yang paling mungkin untuk memperbaiki
mental dan karakter para guru saat ini ialah sebuah solusi jangka panjang.
Pertama, sejak pendidikan dasar, semestinya pendidikan karakter yang
menekankan budi pekerti, sikap empati dan toleransi itu diberikan, lalu
ditekankan kembali bagi para calon guru/ mahasiswa jurusan keguruan.Kedua,
pemerintah selayaknya memberikan penghargaan bagi para guru bukan hanya dalam
kompetensi yang dimiliki, tetapi juga dalam hal keteladanan yang baik bagi para
siswa. Dengan begitu, para guru akan semakin termotivasi untuk memberikan
teladan yang baik dan berkarakter bagi para siswa. Ketiga, pelatihan-pelatihan
kepemimpinan yang diberikan hendaknya lebih fokus pada persoalan karakter
terlebih dahulu dan bukan hanya cukup dilakukan sekali tetapi juga temporal.
Sesuatu hal yang dilakukan secara berulang-ulang akan mampu mendarah-dagingkan
cara berpikir dan bertindak yang tepat dan berkarakter. Dengan demikian, peran
guru benar-benar dapat menjadi teladan bagi para siswa. Harapanya, melalui
pendidikan karakter bagi para guru ini, mereka dapat memiliki sikap-sikap
seorang pemimpin, yakni: kesadaran diri: memahami kekuatan,
kelemahan, nilai-nilai, dan pandangan hidup; Ingenuitas: kemampuan untuk
berinovasi dan beradaptasi dengan penuh keeyakinan terhadap dunia yang terus
berubah; Cinta: kesediaan untuk terlibat dan melibatkan, orang lain dengan
sikap positif yang memungkinkan perkembangan potensi dan bakat terpendam mereka;
Heroisme: menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi dan
hasrat-hasrat heroik untuk melakukan segala sesuatu secara tuntas dan prima.[1]Asal karakter yang baik sudah terbentuk, selanjutnya kompetensi intelektual
para guru akan segera terbentuk dengan sendirinya.
Commentaires
Enregistrer un commentaire