Pendidikan Agama yang Meniup Genderang Peperangan
Pendidikan Agama yang Meniup Genderang Peperangan
Antonius
Siwi Dharma Jati, SJ
Dalam tulisan
B.S. Mardiatmadja, S.J. yang berjudul ”Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah” (Kompas, 18/1/2013:6) disebutkan bahwa draf Kurikulum
2013, telah dirancang oleh Mendikbud dan para pembantunya. Salah satunya dengan
cara mengurangi jumlah mata pelajaran IPA dan IPS yang akan diintegerasikan
dengan Bahasa Indonesia. Dalam praktiknya, menyerahkan IPA dan IPS dalam ilmu-ilmu lain,
justru menyiapkan perpecahan. Padahal, mempelajari IPA dan IPS secara jernih
dapat menguatkan persatuan lintas suku, lintas agama, dan lintas bangsa.
Ditambahkannya di balik usaha dalam
pembaruan kurikulum SD terdapat satu semangat yang sama, yakni "sikap
anti-akal budi" dalam diri orang beragama dan akan memecah-belah bangsa
ini sejak usia dini. Sebuah tanda
tanya besar patut kita tujukan secara khusus pada mapel Pendidikan Agama. Tujuan
pendidikan agama sejak dini di Sekolah Dasar semestinya ialah semakin memahami
ajaran-ajaran agama dan dapat mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Andaikan
proporsi jam pelajaran untuk mapel Pendidikan Agama 3-5 jam dalam seminggu,
pelajaran apa sajakah yang akan diberikan?
Sampai sejauh
ini metode pengajaran Pendidikan Agama masih berkutat dalam pengajaran tentang
hal-hal teknis, dogmatis dan ritual saja. Selanjutnya, menurut B.S.
Mardiatmadja, S.J. paham ilmu agama, filsafat dan teologi menjadi sekadar alat
untuk menjelaskan pokok-pokok dangkal agama, yakni hanya mengenai hal-hal
sekitar ritus dan ritual.
Di samping
itu, praktik pendidikan agama di Indonesia masih berkutat dalam pengenalan
salah satu agama tertentu dan mengabaikan agama-agama lainnya (Abd A’la. “Pendidikan
Agama: Ziarah Spiritual Menuju Pluralisme”, Melampaui Dialog Agama, 2002:49).
Kita dapat
melihat beberapa contoh yang terjadi dewasa ini, di sekolah-sekolah negri
bahkan dimulai dari tingkat SD pun diwajibkan untuk mengenakan seragam lengan
panjang dan celana panjang untuk murid-murid laki-laki. Ditambah lagi
materi-materi yang diajarkan hanya seputar cara beribadah, cara membaca Kitab
Suci, dll. Itulah contoh-contoh nyata pengajaran pendidikan agama yang masih
dogmatis dan ritual.
Metode
pengajaran
Menurut Abd A’la,
dalam tulisan tersebut (Ibid), metode pengajaran pendidikan agama yang
tidak bermuara pada relasi dengan sesama dapat menimbulkan perpecahan bangsa. Metode
pengajaran Pendidikan Agama yang diterapkan di sekolah-sekolah negri bahkan
sangat terbatas pada hal-hal teknis. Misalnya: cara beribadah, cara membaca
kitab suci dll. Di satu sisi, metode pengajaran semacam itu baik untuk menambah
wawasan tentang agama. Di sisi lain, metode tersebut hanya berhenti saja dalam
taraf pengetahuan dan tidak bermuara pada pemahaman terhadap agama lain. Inilah
sumber permasalahan yang bakal terjadi. Ketika para siswa hanya mempelajari dan
mendalami secara terbatas pada pengetahuan dan pandangan agamanya sendiri,
mustahil dapat menghargai atau
setidaknya memandang positif nilai-nilai dan ajaran agama lain. Pandangan yang
justru sangat mungkin muncul ialah pandangan “agamaku paling benar”. Kalau
pandangan tersebut muncul, sama halnya dengan meniup genderang peperangan antar
umat beragama di Indonesia, karena selanjutnya akan memunculkan sikap fanatisme
sempit terhadap salah satu agama, sehingga sangat riskan menimbulkan perpecahan
dengan agama lain.
Bangsa
Indonesia terkenal sebagai bangsa yang religius atau beragama, karena semua
rakyat di negara ini memeluk agama tertentu (paling tidak tercatat dalam KTP).
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui adanya pluralisme agama (Islam,
Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu). Karena adanya pluralisme agama
tersebut, apabila metode pendidikan agama yang diterapkan di sekolah-sekolah
sejak dini, hanya mengarah pada pemahaman salah satu agama saja, dapat
dibayangkan betapa ngerinya perpecahan yang mungkin terjadi dalam beberapa
puluh tahun ke depan.
Oleh sebab
itu, harus ada perubahan metode pengajaran Pendidikan Agama. Padahal, Kurikulum
2013 direncanakan memberikan porsi jam pelajaran lebih banyak dalam satu minggu
termasuk untuk mata pelajaran Pendidikan Agama. Akankah 3-5 jam dalam satu
minggu itu hanya digunakan untuk mengajarkan hal-hal teknis yang tidak berujung
pada solidaritas dan dialog antar agama? Alangkah mengerikan! Semestinya dalam
waktu yang cukup banyak tersebut, diajarkan pendidikan religiusitas yang
mencakup hubungan antarsesama manusia. Juga alangkah lebih baik jika para siswa
diperkenalkan dengan pandangan dan pengajaran agama lain. Jadi, metode
pengajaran pendidikan agama bukan hanya semata-mata mengajarakan bagaimana cara
beribadah atau membuka Kitab Suci, tetapi lebih utama, ditanamkan sikap saling
menghormati pemeluk agama lain. Tentu saja, jika sejak dini, para siswa
diajarkan memahami dan menghargai pandangan dan ajaran agama lain, akan
mengurangi risiko perpecahan antaragama. Apalagi, kelak beberapa puluh tahun ke
depan cara berpikir masyarakat Indonesia semakin terbuka. Hal ini juga dapat
menciptakan dialog antarumat beragama yang bermuara pada kedamaian dan
persatuan Bangsa Indonesia.
Commentaires
Enregistrer un commentaire