Hancur (Gempa Jogja 2006)
Hancur
Antonius Siwi Dharma Jati
Pagi itu langit agak mendung. Enggan sekali rasanya untuk
beranjak dari tempat tidur. Apalagi merapikan selimut, mandi, sarapan atau berangkat
ke sekolah. Maklumlah, udara dingin pagi hari seperti undangan untuk tidur
lagi.Namun, hari itu aku harus melihat
pengumuman hasil Ujian Nasional di sekolah. Seperti biasanya, aku
sengaja memperpanjang waktu tidur tanpa takut kebablasan dan terlambat, karena
yakin Ayah akan membangunkanku.
“Dik, ayo bangun! Sudah
jam lima seperempat!”, pinta Ayah yang terdengar sedikit samar karena nyawaku
belum kembali utuh. Meskipun sudah empat tahun menjadi seorang kakak bagi adik
kecilku, Ayah tetap saja memanggilku “dik”.
Aku tidak tahu juga apa alasannya, karena biasanya setiap orang tua selalu
membahasakan anak yang paling bungsu. Maka, seharusnya aku sudah dipanggil “Kakak”.
“Entar saja yah, hari ini Cuma lihat hasil
Ujian Nasional, aku bisa berangkat jam delapan.” Jawabku dengan malas
sambil menarik kembali selimut cokelatku. “Bus
Pemuda, Jalur enam, hanya akan lewat jam enam pagi, jadi tidak boleh berangkat
lebih dari jam enam, supaya tidak tertinggal bus.” Sahut Ayahku. Aku
terpaksa beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi tanpa
merapikan selimut dan bantalku.
“Dik, yakin bisa lulus ga?” Tanya ayahku
dengan penuh keraguan. “Yakinlah yah, UN
nya gampang kok, bahkan kayaknya bisa dapat nilai rata-rata sembilan.”
Jawabku sambil meyakinkan Ayah.
“Ah, jangan terlalu yakin, nanti kalau tidak
mencapai hasil itu, kamu malah nangis.” Sahut Ayah.
Aku tidak mempedulikan keraguan Ayah karena aku yakin bisa
dapat nilai rata-rata tinggi. Melihat Ayah yang ragu, aku menantangnya dengan
minta sebuah imbalan apabila dapat nilai tinggi.
“Yah,
kalau nilaiku bagus, mau kasih apa?” tanyaku. “Emmm, HP Nokia terbaru
deh, buat kamu.” Jawab Ayah. “Beneran ini yah? Oke, siap-siap saja pergi
ke toko HP” Sahutku. Ayah menjanjikan sebuah HP Nokia keluaran terbaru jika
aku benar-benar lulus dengan nilai tinggi. Bagiku, janji Ayah sangat
menggiurkan. Maklum saja, selama di SMP, cuma ada sedikit dari teman-temanku
yang mempunyai HP. Betapa senangnya kalau aku bisa menunjukkan HP Nokia terbaru
di hadapan teman-teman.
Mandi sudah, sarapan sudah, dan semuanya sudah siap. Aku siap
berangkat ke sekolah meskipun belum genap jam enam. Maklumlah, jarak antara
sekolah dan rumahku cukup jauh, aku harus naik bus dan untuk sampai jalan raya
tempat menunggu bus, aku harus diantar Ayah naik sepeda motor terlebih dahulu.
Ayah juga sudah memanaskan sepeda motor Supra
X yang dibeli empat tahun sebelumnya, kemudian mengantarkanku sampai jalan raya
di mana aku bisa menunggu bus. Kami melewati desa-desa yang masih sepi, jam
baru menunjukkan pukul enam kurang sepuluh. Namun, sudah tampak beberapa ibu yang
menyapu halaman rumah mereka. Apa yang sedang aku pikirkan saat itu, hanya satu
yakni HP Nokia terbaru yang segera di tanganku.
Namun, hal yang tak terduga terjadi. Tiba-tiba saja sepeda
motor kami jumping ke atas. Tentu
saja aku terkejut, karena tidak biasanya kami mengalami kecelakaan di jalanan
yang beraspal dan halus. Untung saja Ayah tidak kehilangan keseimbangan dan
bisa mengontrol sepeda motor.
“Ahhhhhhhh….. gempa… gempa….lindhu[1],
lindhu,” Terdengar teriakan warga saling bersahutan dan mereka semua lari
ke luar rumah. Aku pun menjadi tahu bahwa terjadi gempa bumi pada waktu itu.
Aku sangat takut sekali, karena itu merupakan pertama kalinya aku mengalami dan
merasakan apa yang dinamakan gempa bumi. Ayah memintaku untuk tiarap di aspal,
sementara sepeda motor ditinggalkan begitu saja dengan keadaan berdiri dengan
satu standart. Rasa takutku semakin
menjadi saat melihat beberapa bangunan rumah penduduk runtuh rata dengan tanah
seketika mulai dari gardu pos ronda, kandang ayam, sampai rumah-rumah penduduk.
Sepeda motor kami juga ikut jatuh dan pecahlah spion kiri dan lampu depannya.
“Gempanya kok tidak berhenti-berhenti?”
pikirku. Semakin lama, semakin banyak bangunan yang hancur dan suara teriakan
ketakutan semakin keras. Ada yang malah berdoa, “Subhanallah, subhanallah,
subhanallah, subhanallah”. Ada pula yang mengatakan bahwa air laut selatan
naik lima belas meter dan sudah sampai Kretek, Bantul. Hal itu membuatku
semakin takut saja, apalagi beberapa bulan sebelumnya terjadi Tsunami di Aceh
yang sangat ngeri. “Apakah aku akan mati
juga seperti orang-orang Aceh?” pikiran ngawurku karena gelisah.
Setelah goncangan hebat itu berhenti, aku melihat orang-orang
desa meringis kesakitan karena tertimpa bangunan dan beberapa menangis sambil
meronta-ronta karena kehilangan anggota keluarganya. Mata Ayah nampak
berkaca-kaca, barangkali khawatir dengan keadaan rumah kami, terutama terhadap
adik kecil aku yang masih berumur empat tahun. Dia sedang tertidur pulas pada
waktu aku berangkat ke sekolah.
Dengan rasa panik, aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan
mengurungkan niat untuk ke sekolah guna mendengarkan pengumuman hasil UN. Ayah
mengendarai sepeda motor dengan terburu-buru supaya cepat sampai rumah. Hati aku
cukup tenang setelah dari jauh, tampak bangunan rumah kami masih berdiri.
Sewaktu kami tiba di rumah, adikku menangis kesakitan dengan bahu kiri
berdarah. Kelihatannya dia tertimpa atap eternit yang roboh di bahu kirinya.
Untung saja tidak semua bagian rumah kami hancur, hanya beberapa sudut yang
retak dan atap yang bolong-bolong.
Setelah itu, beberapa kali terjadi gempa susulan. Entah
mengapa, aku menjadi sangat takut dan trauma dengan sebuah getaran kecil saja. Mendengar
suara truk lewat saja, aku langsung lari keluar rumah karena mengira terjadi
gempa lagi. Hal yang sama juga dialami oleh sebagian besar teman-temanku. Kami
tidak berani tidur di dalam rumah karena takut suatu saat terjadi gempa dan
rumah kami roboh. Bantuan tenda belum datang, jadi kami terpaksa tidur di
pinggir jalan. Beberapa tempat umum yang masih kokoh seperti masjid, TK, SD dan
Puskesmas, digunakan untuk perawatan orang sakit dan jenasah. Sehari
sesudahnya, datang bantuan berupa tenda pengungsian. Tenda itu didirikan di
tempat yang agak luas agar dapat dipakai bersama. Kami tinggal di tenda
pengungsian itu, selama kurang lebih satu bulan.
Keadaan keluargaku memang masih lebih baik dibandingkan
tetangga-tentaggaku yang rumahnya hancur lebur. Namun, tetap saja aku kecewa
karena aku tidak bisa melihat hasil UN, tidak bisa menikmati liburan akhir
sekolah dan terlebih tidak jadi mendapatkan HP Nokia terbaru yang dijanjikan
Ayah. Di tenda pengungsian, aku sering melamun sendiri. Aku ingin segera
melihat hasil UN dan mendapatkan HP itu. Namun, situasinya sedang tidak enak.
Orang-orang tua sering berbicara sendiri tentang kesusahan mereka.
Kami, anak-anak kecil malah bercerita yang seram-seram.
Karena banyak korban tewas dalam becana alam tersebut, banyak rumor kalau arwah
orang-orang yang meninggal itu gentayangan. Di tengah-tengah asyiknya
bercerita, tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak, “Maling.., maling…, malinge pancen asu, pateni wae!”[2]
Ternyata ada seorang maling yang nekat mencuri perhiasan di salah satu rumah
warga, di saat rumah itu ditinggal. Apes sekali maling itu, karena dikejar oleh
puluhan warga yang tidak sabar ingin menghabisinya. Ia pun tertangkap dan habis
sudah nyawanya di tangan warga yang sangat siap dengan penthung dan goloknya.
Maling itu pun mati dan dihanyutkan di Kali Kontheng sebelah barat desa kami. Kejadian
itu seakan menambah seramnya situasi desa kami saja.
Pagi hari setelah kejadian pembunuhan maling itu, dua orang
teman sekolahku, Artha dan Yudi datang. Mereka memberikan kabar baik untukku,
bahwa aku lulus dengan nilai rata-rata Sembilan koma empatP. Aku pun melonjak
kegirangan karena teringat akan janji Ayah kepadaku. Pikirku, aku akan segera
mendapatkan HP Nokia terbaru impianku. Aku ingin segera memberitahu Ayah tentang
hasil UN yang kutahu dari dua teman yang datang pagi itu. Sore hari, saat Ayah
sedang mengecek keadaan rumah kami, aku mendatanginya. Hanya saja, setelah aku
melihat Ayah, terlebih raut mukanya, niat untuk memberitahu hasil UN,
kuurungkan karena saat itu, Ayah sedang nampak sedih. Ayah kelihatan sedih
sekali karena mungkin harus mengeluarkan biaya untuk merenovasi rumah. Tentu
saja, aku takut menyela untuk menanyakan HP yang dijanjikan Ayah. Aku simpan
kabar gembira itu di tengah-tengah kepiluan yang kami alami. Entah benar-benar
lupa atau memang sengaja untuk lupa, Ayah tidak pernah lagi menyinggung soal HP
itu. Meskipun akhirnya aku memberitahukan hasil UN ku yang memuaskan, aku tetap
tidak berani menagih janji Ayahku. Sungguh pahit, HP ku lenyap diguncang gempa.
Gempa bumi di Jogja tanggal 27 Mei 2006 telah menelan kebahagiaan ribuan orang.
Menghancurkan pekerjaan dan hunian, membunuh ribuan jiwa dan ini yang selalu
kukutuk, yakni menghancurkan mimpiku memiliki HP Nokia terbaru.
Commentaires
Enregistrer un commentaire