Membangun Keluarga; Membangun Gereja (Feature Rm. Teodulo Pamintuan Gonzales, SJ)
Oleh : Antonius Siwi Dharma Jati,
SJ
Rm. Teodulo
Pamintuan Gonzales atau yang kerap disapa Rm. Ted merupakan orang baru yang
bekerja di Universitas Sanata Dharma. Rm. Ted yang memiliki postur tubuh
ramping, berkaca mata dan berkepala plontos ini merupakan seorang imam Jesuit
dari Filipina. Sejak 4 September 2012 lalu, Rm. Ted diberi tugas oleh pemimpin
Serikat Yesus Provinsi Filipina untuk menjadi Direktur Yuniorat asistensi
Asia-Pasifik di Wisma Realino, Yogyakarta. Sebelumnya, Rm. Ted bekerja di
Center for Family Ministries, Quezon City, Filipina selama 25 tahun. Dalam
karya tersebut, Rm. Ted mendampingi keluarga-keluarga dan kaum muda. Di
situlah, Rm. Ted mendedikasikan dirinya sebagai seorang imam. Setelah 25 tahun
berkarya di tempat yang sama, kini Rm. Ted menghadapi tantangan baru, yakni
menjadi pendamping bagi para frater SJ dari asistensi Asia-Pasifik yang sedang
belajar bahasa, seni, budaya dan humaniora di Yogyakarta dan juga mengajar
bimbingan konseling di Universitas Sanata Dharma.
Dari keluarga
fotografer di daerah pangkalan militer AS
Rm. Ted berasal dari sebuah
keluarga besar di Angeles City, Filipina. Kedua orang tua Rm. Ted memberikan
nama Teodulo yang berarti hamba Tuhan dalam bahasa Yunani. Theo = Tuhan, Dulous =
Hamba. “My parents apparently had a feeling that their son would become a
servant of God.”[1]
tutur Rm. Ted sambil tertawa. Rm. Ted dan keluarganya tinggal di 991 B.
Aquino Street, Angeles City. Daerah ini terkenal dengan sebutan daerah religi,
karena terdapat banyak sekali gedung gereja di sana. Akan tetapi, daerah ini
juga terkenal sebagai kota “hiburan”. Hiburan yang dimaksud di sini
ialah pusat prostitusi atau hospitality girls. Dalam sejarah, di Angeles
City terdapat sebuah pangkalan militer Amerika Serikat yang bernama “Clark
Air Base”. Beberapa tempat hiburan tersebut dulunya digunakan untuk
menghibur para militer Amerika Serikat yang bertugas di pangkalan militer “Clark
Air Base”.
Menghidupi 9 orang anak, bukanlah
hal yang mudah bagi kedua orang tua Rm. Ted (Toribio Gonzales dan Agueda
Pamintuan). Rm. Ted bercerita bahwa masa kecilnya dulu, penuh dengan perjuangan
dan tetesan keringat karena keluarganya termasuk keluarga yang miskin. Ayahnya
hanya bekerja sebagai seorang fotografer di sebuah studio kecil di rumahnya,
sedangkan Ibunya ialah seorang penjual buah-buahan.“We were so poor that we
were not able to pay for tuition[2]”,
tutur beliau sambil tersenyum. Kemudian, Rm. Ted mencoba menghibur dirinya
dengan berkata dalam Bahasa Indonesia yang baru dipelajarinya selama 2 bulan terakhir
ini dengan terbata-bata, “Tidak apa-apa,
miskin harta, kaya jiwa.”
Anak ke-3 dalam keluarga ini, mengaku kesulitan untuk membayar uang
sekolahnya pada waktu kecil. Berkali-kali Rm. Ted harus menangguh pembayaran
karena orang tuanya belum punya uang pada waktu pembayaran uang sekolah. Oleh
sebab itu, seringkali Rm. Ted harus ikut membantu orang tuanya bekerja,
terutama membantu Ibunya berjualan buah-buahan dan sayur-sayuran di gereja
Angeles City pada saat fiestas atau hari raya peringatan Wafat Yesus
karena pada hari itu, biasanya para pembeli buah-buahan dan sayur-sayuran sangat
ramai.
Batu yang dibuang tukang bangunan menjadi batu penjuru
Rm. Ted
menceritakan beberapa kisah masa sekolahnya dahulu bersama dengan
teman-temannya.“ I was not really smart during my school years.”[3],
tutur Rm. Ted. Itulah mengapa, Rm. Ted selalu merasa rendah diri di hadapan
teman-temannya yang menurutnya lebih cerdas. Apabila teman-temannya yang cerdas
lulus ujian dengan predikat cum laude = dengan pujian, sebaliknya Rm.
Ted lulus dengan predikat cum misericordiae = dengan belas kasih. Akan
tetapi, bagi Rm. Ted, yang terpenting bukan seberapa besarnya talenta yang
diberikan Tuhan, melainkan bagaimana caranya mengembangkan talenta yang sudah
ada. Dengan keyakinan semacam itu, Rm. Ted berusaha dengan sungguh-sungguh
tanpa lelah dalam belajar dan mengembangkan dirinya. Kesadaran sebagai seorang
yang susah dalam hal membayar uang sekolah pun juga turut serta mendorong Rm.
Ted untuk belajar dengan serius. Kerja keras Rm. Ted dalam belajar menghasilkan
buah yang berlimpah. Ia semakin berkembang dan memiliki kreativitas yang tinggi
misalnya dalam seni fotografi. Selain itu, dari tahun 1964 hingga 1970, Rm. Ted
berhasil menjalani pendidikan dasar di Holy Family Academy, Angeles City.
Pendidikan lanjutan juga berhasil dilampauinya pada tahun 1970-1974 di Sacred
Heart Seminary, Angeles City. Rm. Ted juga dapat menyelesaikan studi MA bahkan juga
menyelesaikan PhD Pastoral Counseling di
Maryland, Amerika Serikat.
Setelah lulus
dari sekolah lanjutan, Rm. Ted dan beberapa temannya berniat untuk bergabung
dengan Serikat Yesus (SJ) di Provinsi Filipina. Secara pribadi, keinginannya
yang menggebu untuk menjadi seorang Jesuit ialah kesederhanaan dan
kesiap-sediaannya menjalani perutusan di dunia. “I just want to be simple
and available.”[4]
Pada saat mendaftar bersama beberapa temannya, hanya Rm. Ted sendiri yang
diterima, sementara yang lainnya ditolak. Hal ini sangat mengejutkannya, karena
teman-teman yang dianggapnya lebih pandai justru tidak diterima, sementara dia
sendiri yang tergolong pas-pasan justru diterima.
Hal ini sungguh membuka mata dan hatinya,
bahwa Tuhan selalu punya rencana yang indah untuknya. “You just need to
trust Me”[5],
itulah buah-buah inspirasi dari doa-doa yang diceritakannya. Dalam doanya,
Rm. Ted seolah mendengar Tuhan sendiri yang mengatakan demikian. Rm. Ted terpilih
di antara para unggulan dan secara resmi bergabung dengan Serikat Yesus pada
tahun 1978. Dalam Serikat Yesus, Rm. Ted menjalani program novisiat di Quezon
City, Manila tahun 1978-1980. Setelah itu, Rm Ted juga menjalani program Yuniorat
di Quezon City, Manila pada tahun 1980-1981. Selanjutnya beliau studi Filsafat di
Ateneo de Manila (1981-1985) dan belajar teologi di Loyola School of Theology,
Manila (1987-1990). Dalam refleksi pribadinya, Rm. Ted mengungkapkan bahwa
dirinya bagaikan batu yang dibuang tukang bangunan karena kemampuan
intelektualitasnya yang tidak terlalu menonjol, tetapi dijadikan batu penjuru,
karena justru Rm. Ted yang terpilih di antara teman-temannya.
Mendampingi keluarga; mendampingi Gereja
Setelah
ditahbiskan Imam pada tahun 1987, Rm. Ted bekerja selama 25 tahun di pusat
pelayanan keluarga dan kaum muda (Center for Family Ministries) di Quezon City,
Manila. Di samping itu, Rm. Ted juga menjadi pembimbing rohani, mengajar,
mengawasi dan membantu mendesain program untuk formasi para Jesuit muda di
Provinsi Filipina. Akan tetapi, fokus utamanya ialah tetap sebagai konselor dan
pengajar keluarga dan kaum muda dan bukan pada formasi para Jesuit. Rm. Ted
mengaku sangat mencintai tugas perutusannya tersebut karena menurutnya, keluarga
dan generasi muda merupakan dasar dari sebuah Gereja.
Di Filipina,
jarang sekali ada seorang imam yang tertarik untuk bergelut dalam dunia
keluarga dan mendampingi dengan setia. Padahal justru dari sinilah dasar kemajuan
dan eksistensi Gereja. Secara sepintas, perutusan mendampingi keluarga dan kaum
muda bukanlah hal yang heroik, bahkan termasuk karya yang tersembunyi. Akan tetapi, ada satu ungkapan terkenal yang dikatakan Ibu Theresa dari
Calcuta, "Lebih penting melakukan pekerjaan kecil dengan kasih yang
besar, dibandingkan melakukan pekerjaan besar dengan kasih yang kecil." Kata-kata Ibu Theresa itulah yang selama ini
member kekuatan bagi Rm. Ted untuk setia terhadap karya pelayanan keluarga. Menurut Rm. Ted, akan menjadi mustahil
seandainya ada kehendak membangun atau mengembangkan Gereja
jika tanpa memikirkan keluarga-keluarga dan kaum muda. Inilah passion
Rm. Ted terhadap Gereja yakni menyerahkan diri sepenuhnya sebagai alat di
tangan Tuhan (Instrumentum Coniunctum Cum Deo). Rm. Ted juga berkata, “I
would like to become an instrument of God in assisting families and youth.”[6]
Beliau
menceritakan salah satu pengalaman menarik yang dialami selama mendampingi
keluarga dan kaum muda di kantor Center for Family Ministries, Quezon
City, Filipina. Suatu kali seorang Bapak konflik dengan
anak laki-lakinya. Bapak tersebut sangat marah terhadap anaknya yang tidak mau
sekolah lagi. Anaknya lebih senang untuk berkarya dalam dunia musik. Kecintaannya
terhadap musik membuatnya memutuskan untuk tidak lagi sekolah dan memilih untuk
menekuni bidang musik. Sebagai orang tua, tentu mereka menginginkan anaknya
bisa belajar dan memperoleh gelar. Dalam kasus tersebut, Rm. Ted menasihati bapak
tersebut untuk menonton salah satu konser anaknya. Suatu kali, anaknya
menggelar sebuah konser besar di alun-alun kota Manila. Dengan menuruti nasihat
Rm.Ted, bapak tersebut menonton konser anaknya dan duduk di bangku terdepan. Anak tersebut melihat bapaknya dengan gembira
bersorak-sorai bersama dengan para penonton yang lain. Singkat cerita, anak itu
tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke sekolah. Barangkali, anak tersebut
tersentuh hatinya karena bapaknya mengerti apa yang menjadi minatnya. Sebagai
balasannya, anak tersebut kembali ke sekolah dan belajar dengan tekun sambil
tetap menekuni bidang music, Hal yang mengejutkan ialah prestasi anak tersebut
sangat gemilang, dia lulus dengan predikat magna cum laude.
Mendampingi keluarga dan generasi muda selama 25 tahun tidak sesederhana
bekerja di belakang meja, mendengarkan orang lain cerita dan memberi nasihat.
Terkadang, beliau terjun langsung di tengah-tengah konflik atau persoalan
keluarga dan berusaha memberikan peneguhan atau nasihat dalam keluarga yang
sedang konflik tersebut. Suatu kali ada seorang wanita yang hendak mengaborsi
kandungannya karena tidak menginginkan anak yang dikandung tersebut. Betapa
sedihnya Rm. Ted setiap kali melihat keluarga-keluarga yang didampinginya,
akhirnya memutuskan untuk aborsi, pisah ranjang atau cerai. Rm. Ted
berkali-kali meneteskan air mata apabila perpecahan dalam rumah tangga terjadi.“Family
problem is very complicated, it is sometimes quite difficult to find a
solution.”[7],
begitu ungkap Rm. Ted dengan ekspresi
raut muka yang agak serius. Kala melihat persoalan dalam keluarga-keluarga
Katolik, Rm. Ted selalu memandang bahwa ini juga menjadi persoalan Gereja
karena antara keluarga dan Gereja tidaklah terpisah bagaikan 2 sisi dalam
sekeping koin.
Keluar dari zona nyaman
Setelah 25 tahun berkarya di pusat pelayanan keluarga dan kaum muda di
Quezon City, Rm. Ted diutus oleh pembesarnya untuk menjadi Director of JCAP (Jesuit Conference of Asia Pacific) Juniorate 2012 di Yogyakarta, Indonesia. JCAP
Juniorate Programme merupakan salah satu program formasi Serikat Yesus (SJ)
yang fokus pada studi bahasa, seni, budaya dan humaniora. Di Yuniorat, Rm. Ted
mendampingi 9 orang frater Jesuit dari 3 negara (Myanmar, Timor Leste dan
Indonesia). Rm. Ted mengakui hidup di Indonesia tidaklah mudah. Hal yang sangat
mendasar ialah dalam hal bahasa. Itulah mengapa, saat pemimpinnya mengutusnya
ke Indonesia, tidak ada bayangan sama sekali tentang negara Indonesia. Akan
tetapi hal itu tidak mempengaruhi ketaatannya untuk diutus ke Indonesia meskipun pertama kalinya,
Rm. Ted terkejut saat mendapatkan perutusan. Baginya, menjadi seorang direktur
di sebuah rumah formasi Serikat Yesus merupakan pengalaman pertama kalinya.
Walaupun Rm. Ted pernah punya pengalaman mendampingi formasi para Jesuit muda
di Filipina, yakni di Novisiat dan Yuniorat, Rm. Ted belum pernah sekalipun
menjadi seorang Superior dalam sebuah rumah formasi. Di samping kesulitan-kesulitan
itu, beliau harus belajar Bahasa Indonesia karena selain menjadi Director of
JCAP Juniorate 2012, beliau hendak mengajar bimbingan konseling di Universitas
Sanata Dharma.
Di Indonesia, beliau mulai belajar Bahasa Indonesia dari 0 bersama para
frater dari Myanmar. Bagi Rm. Ted, perutusan tersebut juga menjadi sarana untuk
belajar keluar dari zona nyaman. Selama ini beliau berkarya di satu bidang dan
sudah cukup menguasai bidang tersebut. Tentu bukan hal yang mudah bagi
seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan baru. Akan tetapi, Rm.
Ted menyambut baik perutusan barunya ini. “It is my new mission and new
experience, but I am sure that God will give me the grace of willingness to
accomplish it!”[8]
tutur Rm. Ted. Dengan
kekayaan pengalamannya mendampingi keluarga dan kaum muda selama 25 tahun, kini
Rm. Ted hendak menyalurkan semua itu dalam karya barunya. Semangat penghayatan
hidup di antara para keluarga dan kaum muda selama ini telah begitu melekat. Oleh
sebab itu, Rm. Ted selalu nampak ramah dan lembut terhadap keluarga dan kaum
muda. Di Indonesia, Rm. Ted juga selalu berusaha mengunjungi keluarga para
frater SJ, secara khusus mereka yang berasal dari Indonesia.
Menurut Rm. Ted, mendampingi para frater SJ yang berasal dari asistensi
Asia-Pasifik sebenarnya mempunyai visi dan misi yang sama yakni untuk membangun
Gereja Universal. Para frater Jesuit dan mahasiswa di Universitas Sanata Dharma
juga merupakan kaum muda penggerak Gereja masa depan. Dengan sepenuh hati, Rm.
Ted hendak mendedikasikan diri ini untuk membangun Gereja dengan
pelayanan-pelayanan yang dia berikan.
[1] “Sepertinya orang tua saya sudah punya feeling bahwa kelak anak
mereka akan menjadi hamba Tuhan (Imam).”
[6] “Saya hanya ingin menjadi sebuah alat di tangan Tuhan dalam
pelayanan keluarga serta kaum muda.”
[8] “Ini
merupakan perutusan dan pengalaman pertama saya, tetapi saya yakin Tuhan henda
menganugerahkan rahmat kehendak untuk menjalankannya.”
Commentaires
Enregistrer un commentaire