Kritik Feminisme dalam Cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa
Kritik
Feminisme dalam Cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa
Antonius Siwi DJ, SJ
Cerpen “Clara Atawa Wanita yang Diperkosa” ini ditulis
tidak lama setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998 yakni tanggal 26 Juni 1998.
Cerpen ini menceritakan (tokoh aku) yang sedang mendengarkan kesaksian dari
seorang korban pemerkosaan bernama Clara. Clara ialah seorang wanita keturunan Tionghoa yang menjadi salah
satu korban pemerkosaan pada saat terjadi kerusuhan masa pada tahun 1998.
Awalnya, ia hidup dalam kemewahan karena keluarganya merupakan seorang
pengusaha. Akan tetapi, pada tahun 1998, terjadi krisis ekonomi di Indonesia.
Hal ini membuat usaha keluarganya bangkrut. Ditambah lagi, muncul gerakan
pro-reformasi dan pro-pribumi yang mengakibatkan perampokan dan pelecehan
seksual terutama terhadap wanita-wanita Tionghoa.
Dalam cerpen ini, saya melihat 4 bentuk konstruksi perempuan. Keempat
bentuk konstruksi perempuan ini masih cenderung memandang rendah mereka. Pertama,
sosok perempuan dikonstruksikan sebagai seorang yang kaya dan cantik. Kedua,
perempuan dikonstruksikan sebagai seorang yang dipandang begitu rendah dan
diperlakukan seperti hewan. Ketiga, perempuan dikonstruksikan sekedar sebagai
obyek kenikmatan laki-laki. Keempat, perempuan dikonstruksikan sebagai seorang
yang lemah dan tidak berdaya.
Dalam konstruksi yang pertama, perempuan dikonstruksikan sebagai
seorang yang kaya dan cantik. Perempuan miskin mana yang memiliki mobil BMW,
sering melakukan perjalanan ke luar negeri, menjadi pengusaha dagang dan
memiliki sejumlah buruh yang bekerja untuknya? Clara berasal dari keluarga
konglomerat. Digambarkan pula kecantikkannya dengan ciri-ciri rambut dicat
merah atau cokelat sebenarnya. Akan tetapi deskripsi yang menarik tentang
perempuan ini menjadi semacam ironi karena setelah itu, ia mengalami perlakuan
yang keji.
Dalam konstruksi yang kedua, perempuan dikonstruksikan sebagai
seorang yang dipandang begitu rendah. Ia bahkan diperlakukan lebih keji
daripada seekor hewan. “Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah
orang yang menginjak mulut saya itu Nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan
menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya…” Clara menjadi korban
pemerkosaan. Lebih pahit lagi karena statusnya sebagai seorang yang kaya
apalagi keturunan Tionghoa menjadi alasan untuk dibenci, dirampok dan
diperkosa. Tentu saja, perlakuan semacam ini sulit untuk diterima. Apalah
artinya seorang memiliki kecantikan yang mempesona dan kekayaan jika jika
mendapat perlakuan yang keji dan dilecehkan.
Ketiga, perempuan dikonstruksikan sebagai bentuk obyek kenikmatan
laki-laki. Hal ini muncul di akhir cerita, ketika tokoh Aku mengatakan dirinya
seorang anjing dan seorang babi karena ingin memperkosa Clara juga. Deskripsi
bagian tubuh Clara yang kelihatan telanjang sangat ditonjolkan dalam cerpen
ini. Di mata laki-laki, deskripsi tubuh seorang perempuan sangat menarik untuk
dilihat. Seolah-olah hal yang menarik dari diri Clara hanya tubuhnya yang molek
dan bukan kekayaannya atau sisi-sisi yang lainnya.
Keempat, perempuan dikonstruksikan sebagai seorang yang lemah dan
tidak berdaya. Hal ini nampak dalam diri Ibu Tua yang berusaha menolong Clara.
Akan tetapi yang bisa dilakukannya tidak lebih dari sekedar menutup tubuh Clara
dengan kain dan meminta Clara untuk memaafkan mereka yang memperkosanya. Apa
yang dilakukan Ibu Tua tersebut nampak sama sekali tidak berpengaruh pada
Clara. Barangkali akan lebih berguna jika Ibu Tua tersebut menampung Clara di
rumahnya, namun tidak bisa karena saat itu, orang-orang Tionghoa sedang diincar
banyak orang. Akan sangat berbahaya menampung orang Tionghoa di rumahnya.
Inilah salah satu bentuk konstruksi ketidak-berdayaan seorang perempuan.
Perempuan dalam cerpen ini, masih saja dikonstruksikan sebagai
sosok yang rendah. Kebetulan saja, sosok Clara yang diceitakan dalam cerpen ini
adalah seorang Tionghoa. Barangkali tidak hanya seorang Tionghoa saja yang
mengalami pelecehan. Hal ini menunjukkan bhawa masyarakat kita masih memandang
seorang perempuan lebih rendah, nomor dua dan layak mendapat perlakuan yang
tidak baik. Sekarang kita lah yang perlu merubah pandangan masyarakat terhadap
perempuan.
Commentaires
Enregistrer un commentaire