Kekuatan sebuah “Kata” dalam Menyelesaikan Problem Politik (Komentar dari artikel Catatan Pinggir “Kata”, Gunawan Mohamad. TEMPO, 31 Januari 2010)
Kekuatan sebuah
“Kata” dalam Menyelesaikan Problem Politik
(Komentar dari artikel Catatan Pinggir “Kata”, Gunawan Mohamad. TEMPO,
31 Januari 2010)
Antonius Siwi DJ, SJ
Berapa pun lamanya perang berlangsung, pasti
akan ada kisah akhirnya. Ada saat di mana bedil akan disimpan dan kekerasan
diganti dengan sebuah wacana. Wacana atau discourse
mengandung kata-kata di dalamnya. Kalau perang sudah berakhir, orang hanya bisa
setuju karena mereka mampu saling bicara dan wacana itulah yang akan berperan
“bedil”. Di Indonesia, dapat dikatakan bahwa tidak ada lagi perang fisik yang
menggunakan senjata. Problem yang sekarang ini terjadi lebih mengarah pada
problem politik.
Sekarang, apakah kekuatan sebuah wacana yang
mengandung makna atau “kata” dapat menyelesaikan problem politik yang terjadi
di Indonesia? Benarkah saling bicara tadi dengan mengandalkan tatapan mata dan
pena yang telah diasah mampu menyelesaikan problem dasar politik. Dalam
sejarah, komunikasi merupakan bagian dari kelahiran demokrasi. Demokrasi merupakan
sebuah sistem yang membuat pemegang kekuasaan dan hegemoni menyadari bahwa
status mereka tergantung dalam kontingensi[1].
Dalam keadaan ketiadaan tempat berpegang, orang lebih menunjuk kepada
“kebenaran”. Persoalan saat ini ialah bagaimana sanggup “kebenaran” jadi
kaidah, bila malahan “kebenaran” itu terbentuk oleh sebuah kekuasaan.
Ada yang
percaya, mengikuti Habermas[2],
bahwa aksi komunikatif dapat mencapai konsensus. Terdapat hubungan antara
rasionalitas, rembukan sebagai proses pertimbangan dengan “kebenaran”. Habermas
mengandaikan daya komunikatif sebagai daya yang mengepung dan bukan yang
mengambil alih serta menguasai. Daya tersebut hanya mampu mempengaruhi arena sekitar
politik dan bukan menaklukkan arena itu. Jadi pada intinya dalam pandangan
Habermas, kekuatan sebuah “kata” hanya dapat memberikan pengaruh terhadap suatu
keputusan tetapi tidak mampu untuk memutuskan “kebenaran” itu.
Seraya mengasah pena dan menulis, seraya
menggunakan bahasa dengan sendirinya kita melakukan aksi komunikatif. Hai
inilah yang semestinya kita lakukan dan menjadi cara bertindak kita. Kita tidak
bisa jadi pengarah, karena justru kata dan bahasa itu yang mempergunakan kita.
Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah atau hanya mengulang sebutan dari
praduga, ide dan acuan yang lama. Aksi komunikatif lebih bertujuan untuk
membentuk makna dan tidak sekadar menyampaikan makna. Maka berbahaya bila politik
dalam demokrasi dikerahkan untuk merumuskan “kebenaran” dan pada akhirnya
dirumuskan kaidah. Politik dan demokrasi pada akhirnya harus mengakui bahwa
aksi komunikatif terbaik terbentuk karena krisis dan bukan karena bahasa yang
terang-benderang.
Hal yang menarik di sini ialah pandangan bahwa
aksi komunikatif lebih bertujuan untuk membentuk makna dan tidak sekadar
menyampaikan makna. Dengan ini, semakin jelas bahwa “kata-kata” itu mempunyai power yang besar yakni tidak sekadar
mempengaruhi keputusan, melainkan juga untuk membentuk makna yang akhirnya akan
dirumuskan sebagai sebuah “kebenaran” dan lebih lanjut lagi menjadi “kaidah”.
Apa yang tertulis di atas kertas putih, akan terus berbicara sampai kapan pun
dan tidak akan pernah mati meskipun ditelan usia dan zaman. Mari kita turut
berpartisipasi dalam memajukan kesejahteraan dan kehidupan bangsa dengan
menerapkan aksi komunikatif. Gunakan pena tan tulislah “kebenaran-kebenaran”
itu.
Commentaires
Enregistrer un commentaire