Selasa, 23 April 2013

Pendidikan Agama yang Meniup Genderang Peperangan



Pendidikan Agama yang Meniup Genderang Peperangan
 Antonius Siwi Dharma Jati, SJ

Dalam tulisan B.S. Mardiatmadja, S.J. yang berjudul ”Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah” (Kompas, 18/1/2013:6) disebutkan bahwa draf Kurikulum 2013, telah dirancang oleh Mendikbud dan para pembantunya. Salah satunya dengan cara mengurangi jumlah mata pelajaran IPA dan IPS yang akan diintegerasikan dengan Bahasa Indonesia. Dalam praktiknya, menyerahkan IPA dan IPS dalam ilmu-ilmu lain, justru me­nyiapkan perpecahan. Padahal, mempelajari IPA dan IPS secara jernih dapat menguatkan persatuan lintas suku, lintas agama, dan lintas bang­sa.
Ditambahkannya di balik usaha dalam pembaruan kurikulum SD terdapat satu semangat yang sama, yakni "sikap anti-akal budi" dalam diri orang beragama dan akan memecah-belah bang­sa ini sejak usia dini. Sebuah tanda tanya besar patut kita tujukan secara khusus pada mapel Pendidikan Agama. Tujuan pendidikan agama sejak dini di Sekolah Dasar semestinya ialah semakin memahami ajaran-ajaran agama dan dapat mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Andaikan proporsi jam pelajaran untuk mapel Pendidikan Agama 3-5 jam dalam seminggu, pelajaran apa sajakah yang akan diberikan?
Sampai sejauh ini metode pengajaran Pendidikan Agama masih berkutat dalam pengajaran tentang hal-hal teknis, dogmatis dan ritual saja. Selanjutnya, menurut B.S. Mardiatmadja, S.J. paham ilmu agama, filsafat dan teologi menjadi sekadar alat untuk menjelaskan pokok-pokok dangkal agama, yakni hanya mengenai hal-hal sekitar ritus dan ritual.
Di samping itu, praktik pendidikan agama di Indonesia masih berkutat dalam pengenalan salah satu agama tertentu dan mengabaikan agama-agama lainnya (Abd A’la. “Pendidikan Agama: Ziarah Spiritual Menuju Pluralisme”, Melampaui Dialog Agama, 2002:49).
Kita dapat melihat beberapa contoh yang terjadi dewasa ini, di sekolah-sekolah negri bahkan dimulai dari tingkat SD pun diwajibkan untuk mengenakan seragam lengan panjang dan celana panjang untuk murid-murid laki-laki. Ditambah lagi materi-materi yang diajarkan hanya seputar cara beribadah, cara membaca Kitab Suci, dll. Itulah contoh-contoh nyata pengajaran pendidikan agama yang masih dogmatis dan ritual. 

Metode pengajaran
Menurut Abd A’la, dalam tulisan tersebut (Ibid), metode pengajaran pendidikan agama yang tidak bermuara pada relasi dengan sesama dapat menimbulkan perpecahan bangsa. Metode pengajaran Pendidikan Agama yang diterapkan di sekolah-sekolah negri bahkan sangat terbatas pada hal-hal teknis. Misalnya: cara beribadah, cara membaca kitab suci dll. Di satu sisi, metode pengajaran semacam itu baik untuk menambah wawasan tentang agama. Di sisi lain, metode tersebut hanya berhenti saja dalam taraf pengetahuan dan tidak bermuara pada pemahaman terhadap agama lain. Inilah sumber permasalahan yang bakal terjadi. Ketika para siswa hanya mempelajari dan mendalami secara terbatas pada pengetahuan dan pandangan agamanya sendiri, mustahil  dapat menghargai atau setidaknya memandang positif nilai-nilai dan ajaran agama lain. Pandangan yang justru sangat mungkin muncul ialah pandangan “agamaku paling benar”. Kalau pandangan tersebut muncul, sama halnya dengan meniup genderang peperangan antar umat beragama di Indonesia, karena selanjutnya akan memunculkan sikap fanatisme sempit terhadap salah satu agama, sehingga sangat riskan menimbulkan perpecahan dengan agama lain.
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang religius atau beragama, karena semua rakyat di negara ini memeluk agama tertentu (paling tidak tercatat dalam KTP). Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui adanya pluralisme agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu). Karena adanya pluralisme agama tersebut, apabila metode pendidikan agama yang diterapkan di sekolah-sekolah sejak dini, hanya mengarah pada pemahaman salah satu agama saja, dapat dibayangkan betapa ngerinya perpecahan yang mungkin terjadi dalam beberapa puluh tahun ke depan. 

Oleh sebab itu, harus ada perubahan metode pengajaran Pendidikan Agama. Padahal, Kurikulum 2013 direncanakan memberikan porsi jam pelajaran lebih banyak dalam satu minggu termasuk untuk mata pelajaran Pendidikan Agama. Akankah 3-5 jam dalam satu minggu itu hanya digunakan untuk mengajarkan hal-hal teknis yang tidak berujung pada solidaritas dan dialog antar agama? Alangkah mengerikan! Semestinya dalam waktu yang cukup banyak tersebut, diajarkan pendidikan religiusitas yang mencakup hubungan antarsesama manusia. Juga alangkah lebih baik jika para siswa diperkenalkan dengan pandangan dan pengajaran agama lain. Jadi, metode pengajaran pendidikan agama bukan hanya semata-mata mengajarakan bagaimana cara beribadah atau membuka Kitab Suci, tetapi lebih utama, ditanamkan sikap saling menghormati pemeluk agama lain. Tentu saja, jika sejak dini, para siswa diajarkan memahami dan menghargai pandangan dan ajaran agama lain, akan mengurangi risiko perpecahan antaragama. Apalagi, kelak beberapa puluh tahun ke depan cara berpikir masyarakat Indonesia semakin terbuka. Hal ini juga dapat menciptakan dialog antarumat beragama yang bermuara pada kedamaian dan persatuan Bangsa Indonesia. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar