Sabtu, 06 September 2014

Wayang dan Prinsip Keselarasan dalam Kebudayaan Jawa


Wayang dan Prinsip Keselarasan
dalam Kebudayaan Jawa

A.      Pengantar
Masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang tinggi dan luhur. Keluhuran budaya tersebut terwujud dalam bahasa, ajaran dan kesenian. Salah satu jenis kesenian dalam kebudayaan Jawa ialah seni pertunjukkan wayang. Ada berbagai macam jenis wayang, seperti wayang kulit purwa[1], wayang orang[2], wayang golek[3], wayang beber[4], wayang krucil[5], dll.[6] Keberadaan wayang dalam budaya Jawa bukan hanya sebagai bentuk kesenian atau hiburan tetapi juga merepresentasikan prinsip keselarasan yang dihidupi serta senantiasa menjadi cita-cita masyarakat Jawa.
Wayang berasal dari kata bayang-bayang atau gambaran. Kata bayang-bayang atau gambaran yang dimaksudkan adalah gambaran manusia dalam hidup dan kehidupan. Wayang yang dalam arti gambaran hidup manusia juga bisa disebut lambang kehidupan manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan Sang Pencipta. Pada dasarnya, cerita-cerita wayang yang terdiri dari beraneka ragam jenis dapat dipersempit menjadi dua cerita pokok, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Cerita Ramayana mengisahkan Rama dan Rahwana yang terdiri dari beberapa cerita dan lakon, misalnya: Sinta Obong[7]. Sedangkan, Mahabarata menceritakan keluarga Pandawa dan Kurawa yang berakhir dengan peperangan kedua keluarga tersebut dalam lakon Baratayuda.
Cerita-cerita dalam dunia pewayangan memiliki sejarah yang cukup panjang sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Jawa. Selain itu wayang juga mengandung ajaran filsafat dan simbolisme yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Jawa. Fungsi wayang antara lain sebagai sarana untuk mengajarkan budi pekerti kepada masyarakat dan juga sebagai sarana untuk berdakwah atau penyebaran agama. Sedangkan di masa lampau, wayang berfungsi sebagai sarana penyembahan kepada nenek moyang.
Budaya Jawa sangat kental dengan ciri khas menghidupi keselarasan dalam hidup bermasyarakat. Dari nilai-nilai filosofis dan simbolis yang terkandung dalam wayang serta fungsi-fungsinya, wayang juga mendorong masyarakat Jawa untuk senantiasa menghidupi prinsip keselarasan yang dicita-citakan.
Tulisan ini hendak membahas beberapa hal tersebut di atas: asal-usul wayang, nilai-nilai filosofis dan simbolis yang terkandung dalam wayang, fungsi wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa serta relasi antara wayang dan prinsip keselarasan.

B.       Asal-usul Wayang dalam Masyarakat Jawa
Secara historis, wayang  pada dasarnya merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang sangat tinggi nilainya walaupun reportoirenya bersumber pada epos India (Ramayana dan Mahabarata) . Bentuk wayang di Jawa digarap berdasarkan sikap kebudayaan Jawa. Sementara itu, menurut Clair Holt pertunjukan wayang mulai dikenal dan dipagelarkan sejak zaman Balitung sekitar tahun 907 M. Di sisi lain, J. Brandes menyatakan bahwa wayang sudah di kenal di Indonesia sejak zaman Prapanca, yakni sekitar tahun 778 M, sedangkan Robert von Heine Geldern dan K.A.H. Hidding menyatakan bahwa wayang sudah di pagelarkan sejak zaman Megalitik (150 SM).[8]
Seperti halnya Brandes, G.A.J. Hazeu berpendapat bahwa wayang berasal dari jawa. Ia sependapat dengan Brandes. Argumentasi yang diungkapkannya ialah sebagai berikut: Pertama, struktur lakon wayang digubah menurut model yang amat tua. Kedua, cara bercerita dalang juga mengikuti tradisi yang amat tua. Ketiga, desain teknis, gaya dan susunan-susunan lakon juga bersifat khas Jawa. Menurut Hazeu, wayang tentunya tumbuh dari upacara-upacara penyembahan kepada nenek moyang. Pendapat-pendapat Hazeu tersebut seolah sangat meyakinkan bahwa wayang memang berasal dari Jawa.[9]
J. Kats mempunyai teori yang serupa dengan Hazeu antara lain: istilah-istilah wayang merupakan khas istilah Jawa, wayang sangat erat hubungannya dengan budaya Jawa, misalnya penyembahan nenek moyang. Dalam perkembangannya, wayang sangat dipengaruhi oleh pengaruh agama-agama modern monoteis terutama Islam. Agama-agama modern monoteis mempergunakan wayang sebagai sarana berdakwah atau penyebaran agama. Sedangkan pada zaman Indonesia Merdeka, wayang lebih dianggap sebagai suatu kesenian, yakni seni teater total yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga pendidikan budi pekerti.[10]

C.      Ajaran Filosofis dan Simbolis
Bagi masyarakat Jawa, dalam dunia pewayangan terkandung suatu ajaran filsafat dan simbolisme kehidupan manusia.[11] Kata filsafat berasal dari Bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Sementara itu, para pelaku filsafat disebut sebagai filsuf yang juga berasal dari kata Yunani philosophos. Kedua kata tersebut sudah digunakan sejak zaman Sokrates dan Platon, yakni sekitar abad ke-5 SM. Tujuan filsafat adalah untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran. Dalam filsafat Jawa bagi orang-orang yang membahas dunia pewayangan tidak pernah ditemukan kesamaan pendirian dan pendapat karena titik tolaknya berlainan.[12]
Pertunjukkan wayang kulit tidak hanya merupakan kesenian semata, tetapi juga telah  menjadi kesenian sakral atau sakti yang tetap merupakan bagian dari kebudayaan Jawa. Wayang kulit yang dimainkan oleh seorang dalang tidak hanya menggambarkan manusia, tetapi juga menggambarkan bayangan dari manusia.[13]
Dalam khazanah kitab klasik pewayangan terdapat ungkapan-ungkapan yang mengandung filsafat dan yang ada kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan Penciptanya. Pengertian filsafat bagi orang Jawa lebih berarti menjelajahi alam irasional. Bagi dunia kejawen, alam mistik dan filsafat telah menyatu. Maksudnya adalah dunia pewayangan bagi orang Jawa memberi peluang untuk melakukan pengungkapan falsafi dan mistis sekaligus.[14]
Sementara itu, Banyak hal yang secara simbolis digambarkan dalam wujud wayang karena wayang merupakan simbolisme kehidupan manusia. Simbolisme yang dominan dalam perwujudan wayang ditandai dengan prasasti yang berbentuk candra sengkala yakni suatu tanda yang menunjukkan tahun pembuatan dan apa makna hasil karya ciptaan tersebut. Dengan demikian, wayang hendak mengejawantahkan bentuk bayang-bayang pribadi manusia secara simbolis, baik dalam bentuk tinggi besarnya tokoh maupun dalam bentuk tinggi rendahnya watak wayang.[15]
Wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah. Jika orang melihat pagelaran wayang, yang dilihat bukan wayangnya melainkan masalah yang tersirat dalam lakon wayang itu. Hal ini menandakan kalau wayang menjadi semacam cermin kehidupan masyarakat Jawa di mana dengan melihat pagelaran, masyarakat diajak untuk melihat sifat-sifat asli mereka.[16]
Dalam kisah Mahabarata, dikenal sosok Yudistira, anak tertua di antara Pandawa. Ia digambarkan sebagai seorang yang bersifat sabar, dapat menguasai nafsu, menerima segala watak orang lain. Ini menjadi simbol anak tertua yang luruh, kalau bicara sangat hati-hati dan tidak pernah memukul atau menyakiti serta apa saja yang diminta orang lain, akan selalu diberikan. Putra kedua Pandawa, Bima digambarkan sebagai seorang yang mempunyai tubuh besar dan gagah perkasa sebagai tiang pokok keluarga pandawa. Ini merupakan simbol seorang yang sangat setia dan teguh pada tekadnya. Satu lagi sosok Arjuna. Ia digambarkan sebagai seorang yang berparas tampan. Tokoh Arjuna merupakan simbol dari seorang yang bertingkah laku sederhana atau prasaja.[17]
Wayang sebagai sebuah pertunjukkan merupakan ungkapan dan peragaan pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang seperti bahasa, gerak, suara, warna dan rupa. Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius kuno seperti masih adanya mitos-mitos dan ritus yang terdapat dalam lakon ruwat.[18] Berikut ini adalah beberapa contoh tokoh dalam pewayangan yang mencerminkan pengalaman religius dan mistik.

1.      Bima
Gambar 1: Bima
Dalam lakon Dewa Ruci, Bima digambarkan sebagai pribadi yang mampu mencapai kesempurnaan manunggaling kawula Gusti (persatuan hamba Tuhan). Oleh gurunya yang bernama Drona, Bima diperintah untuk mencari air hidup tirtapawitra. Dengan sepenuh hati, Bima menjalankan apa yang diperintahkan oleh gurunya tersebut, bahkan ia tidak takut menghadapi segala macam bahaya yang dijumpainya. Ia membongkar hutan dan menyelam ke samudera di mana ia mengalahkan raksasa naga yang ganas. Sikap Bima yang mampu mengalahkan nafsu-nafsu rendah dan memurnikan tekad inilah yang dinamakan sikap sempurna dalam paham Jawa. Sesudah itu, sosok Dewa Ruci yang menyerupai Bima muncul. Bima sudah merasa lelah dengan segala usaha yang tanpa hasil, sehingga ia membiarkan dirinya didorong ke sana kemari oleh ombak samudera. Dewa Ruci menyuruh Bima masuk ke telinga kirinya. Meskipun awalnya ia ragu, akhirnya ia bersedia menjalankan apa yang diperintahkan Dewa Ruci. Tanpa kesulitan, ia masuk ke dalam hati Dewa Ruci di mana ia pada mulanya melihat kekosongan tanpa batas dan kehilangan orientasi. Akan tetapi, seterusnya ia menemukan jagad walikan (segala sesuatu terbalik).
Melalui penglihatan yang memuncak, Bima menemukan air kehidupan yang ia cari yakni sangkan-paraning dumadi atau asal usul dirinya sendiri. Sangkan-paran itu ialah Yang Ilahi sendiri. Dengan kata lain, Bima telah mencapai manunggaling kawula Gusti (persatuan hamba Tuhan). [19] Konsep manunggaling kawula Gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan yang dipergunakan sebagai gambaran ialah curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, yakni manusia masuk ke dalam diri Tuhan seperti Bima masuk ke dalam diri Dewa Ruci atau Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Wisnu yang menitis dalam diri Kresna.[20]                           

2.      Arjuna
Gambar 2: Arjuna
Dalam lakon Arjunawiwaha, Menjelang pertempuran besar di padang Kuru Setra antara Pandawa dan Kurawa, Begawan Abiyasa menyuruh Arjuna untuk menghadap Dewa Indra dan Siwa untuk memohon senjata sakti di Gunung Himalaya. Sesudah sampai Indrakila, ia disuruh Dewa Indra untuk bertapa agar mendapat kekuatan batin sehingga mampu melihat Siwa. Ia pun mulai bertapa dan Siwa mencobainya dengan mendatangkan seekor babi hutan di mana ia segera memanahnya. Akan tetapi, seorang pemburu lain mengklaim bahwa ia yang memanah babi itu sehingga berhak untuk mendapatkannya. Arjuna pun tidak terima dan berkelahi dengan pemburu itu. Dalam perkelahian tersebut, Arjuna tidak mampu mengalahkan pemburu itu, karena pemburu itu tidak lain adalah Siwa. Setelah menyadari bahwa pemburu itu adalah Siwa, Arjuna sujud menyembahnya. Siwa akhirnya memberi Arjuna panah sakti Pasopati. Dengan panah sakti itu, Arjuna dapat membantu para Dewa untuk membunuh raja Niwatakawaca yang mengancam dan berbahaya itu dan dalam perang Baratayuda, panah itu mampu membunuh Karna.[21]

3.      Rahwana

Gambar 3: Rahwana
Sosok Rahwana merupakan simbol sikap angkara murka di dunia. Ia adalah anak Raja Wisrawa dan Dewi Sukesi yang berwujud raksasa. Ia menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya untuk bertapa sehingga ia menjadi amat sakti dan tak dapat dikalahkan oleh siapapun. Akan tetapi Rahwana menggunakan kesaktiannya untuk hal-hal yang tidak luhur yakni dengan merusak segala sesuatu yang tidak disenanginya.[22]

Bagi sebagian besar orang Jawa, wayang mempunyai arti tersendiri dalam kaitannya dengan kehidupan serta penghidupan mereka. Salah satu aspek dalam dunia pewayangan adalah sifat keturunan. Keturunan ini diwariskan oleh orang tua pendahulu yang dalam bahasa ilmiah disebut genetika.[23]
Seperti dalam contoh Bima, menurut cerita Bima adalah anak dari Batara Bayu dan Dewi Kunthi. Oleh sebab itu, wujud Bima memperlihatkan sifat-sifat ayahnya yang teguh pada pendirian dan kuat. Selain Bima, putranya Gatotkaca memiliki bentuk tubuh dan rupa raksasa dalam wujud gigi taring karena ibunya, Arimbi ialah raksasa, putrid raja Prabu Tembaka. Selain itu, Gatotkaca juga mewarisi bentuk tubuh dan rupa ayahnya, Bima. [24]

Gambar 4: Gatotkaca, Bima dan Batara Bayu

Sifat keturunan telah dikenal oleh orang Jawa sejak munculnya wayang. Dalam perwujudan wayang kulit purwa, sifat anak selalu digambarkan memiliki kemiripan dengan sifat orang tuanya. Kemiripan sifat-sifat itu tampak dalam bentuk rupa atau suara yang diucapkan oleh dalang. Sebagai contoh, kita dapat melihat contoh kemiripan antara Bima dan Gatotkaca. [25]

D.      Peran Wayang dalam Budaya Jawa
1.      Wayang sebagai Pendidikan Budi Pekerti
Wayang tidak saja merupakan salah satu sumber pencarian nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa tetapi juga merupakan salah satu wahana pendidikan budi pekerti bagi masyarakat Jawa. Wayang mengajarkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang tidak hanya teoritis melainkan juga konkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya sebagai teladan. Wayang juga tidak mengajarkan nilai-nilainya secara kaku atau akademis, melainkan mengajak masyarakat untuk berpikir sendiri dan menemukan sendiri nilai-nilai yang terkandung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai pendidikan budi pekerti yang diajarkan ialah secara total dan informal.[26]

2.      Wayang sebagai Sarana Dakwah
Cerita-cerita dalam dunia pewayangan merupakan kisah-kisah dari kitab suci agama Hindu. Dari masa ke masa, kisah-kisah pewayangan menanamkan pengaruhnya yang kuat pada kejiwaan masyarakat Jawa sehingga dunia pewayangan merupakan dunia  sendiri yakni dunia kejawen. Karena dunia pewayangan mengandung filsafat yang dalam, maka memberi peluang untuk melakukan pengajian falsafi dan mistik sekaligus. Pengajian kebenaran filsafat dilakukan melalui rasio plus indra batin, sehingga filsafat bagi orang Jawa ada kalanya menjelajahi alam irasional atau alam mistik (Sunarto Timur: Filsafat dan simbolik dalam sastra pewayangan).[27]
Hal tersebut sangat dimaklumi karena agama Hindu masuk ke Pulau Jawa pada abad pertama masehi sebelum tahun saka (tahun Jawa) yang bermula pada tahun 78 M. Kemudian disusul oleh agama Budha sehingga kedua agama tersebut semakin kukuh semenjak zaman kerajaan Kalingga pada abad VII M dan berkembang pada masa kerajaan Mataram Pertama (abad VIII dan IX M). Pada zaman Majapahit (1293-1528), sinkronisasai agama Hindu-Budha mulai agak surut karena Maulana Malik Ibrahim menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam dilakukan oleh Wali Sanga yang terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati dan Syeh Sitijenar.[28]  

E.       Wayang dan Prinsip Keselarasan
Sebagai salah satu jenis kesenian, wayang tidak hanya sekadar menjadi sarana hiburan melainkan mengandung nilai-nilai filosofis dan ajaran moral bagi masyarakat Jawa. Hal itu berarti bahwa keberadaan wayang dalam budaya Jawa memberi penegasan bahwa prinsip keselarasan hidup tetap dijunjung tinggi.
Konsep yang dihidupi masyarakat Jawa ialah hidup yang mengutamakan keselarasan. Budaya Jawa memiliki identitas tersendiri yang dilandasi oleh nasihat-nasihat dari nenek moyang secara turun-temurun. Nasihat-nasihat itu berbentuk ungkapan-ungkapan. Tujuan yang ingin dicapai dari ungkapan-ungkapan itu adalah timbulnya kehidupan yang tenang, ayem tenterem kerta raharja yang tak pernah bisa diukur dari harta benda, tetapi dari hati. Sumber budaya Jawa berpusat pada pendidikan budi pekerti atau budi luhur. Oleh karena itu para orang tua sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya dalam hal ini. Tujuan yang ingin dicapai adalah kedamaian, keakraban dan kekeluargaan.[29]
Keselarasan ini merupakan sebuah nilai dasar yang ingin dihidupi oleh masyarakat Jawa. Nilai ini bertitik tolak dari anggapan bahwa masyarakat tersusun secara heirarkis. Oleh sebab itu, dalam berbicara dan membawakan diri, masyarakat Jawa selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. (Seperti ditulis oleh Ann Willner).[30] Pandangan ini berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat itu sudah teratur secara hierarkis. Hal kedua yang harus dituntut untuk mencapai keselarasan ialah sikap rukun antar masyarakat supaya tidak menimbukan perpecahan.[31] Prinsip keselarasan itu secara simbolis terungkap dalam wayang.



F.       Penutup
Dalam mencari nilai-nilai luhur, salah satu bentuk karya seni yang dapat dipakai sebagai sumber pencarian nilai-nilai adalah seni wayang karena di dalamnya terdapat berbagai ajaran dan nilai-nilai moral. Budaya Jawa terus berusaha menjaga kesenian yang mengandung ajaran budi pekerti dan memiliki peran yang vital dalam penyebaran agama tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan wayang merupakan representasi nilai keselarasan yang menjadi nilai dasar masyarakat Jawa. Di dalam wayang terdapat nilai keselarasan budaya Jawa dan di dalam budaya Jawa, wayang menjadi sarana untuk menjaga nilai keselarasan itu.

Daftar Pustaka
Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

Astiyanto, Heniy. Filsafat Jawa.Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.Haryanto, S. Bayang-Bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize, 1995.

Magnis-Suseno, Franz. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.

         Mulyono, Sri. Wayang. Jakarta: Gunung Agung, 1978.
        
Willner, Ann Ruth. “The Neotraditional Accomodation to Independence: The Case of Indonesia.In Cases in Comparative Politics: Asia, edited by Lucian W. Pye. 1970. Boston: Little, Brown and Company, 242-306. Dikutip oleh Franz Magnis-Suseno, dalam Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991, 73.

Wiyasa Bratawijaya, Thomas. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997.



Sumber-Sumber Lain
Gambar 1
Budi Adi Soewirjo. 2012. “Bima – Tokoh Wayang.” <http://tokohwayangpurwa.wordpress.com/2012/07/20/bima-khasanah-tokoh-wayang/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.30 WIB)

Gambar 2
Budi Adi Soewirjo. 2012. “Arjuna – Khazanah Tokoh Wayang.” <http://tokohwayangpurwa.wordpress.com/2012/07/20/arjuna-khazanah-tokoh-wayang/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.35 WIB)

Gambar 3
 Anonim. 2010. “Rahwana.” <http://wayang.wordpress.com/2010/03/13/rahwana/> (Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.40 WIB)

Gambar 4
Anonim. 2008. “Raden Gatotkaca.” <http://wayangku.wordpress.com/2008/10/13/raden-gatotkaca/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.45 WIB)

Budi Adi Soewirjo. 2012. “Bima – Tokoh Wayang.” <http://tokohwayangpurwa.wordpress.com/2012/07/20/bima-khasanah-tokoh-wayang/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.50 WIB)

Anonim. Tidak Tercantum Tahun. “Batara Bayu.” <http://pitoyo.com/duniawayang/galery/details.php?image_id=163>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.55 WIB)





[1] Wayang dari kulit lembu atau kerbau yang halus dan yang menggambarkan manusia dari samping.
[2] Wayang yang dimainkan oleh orang yang berperan dan berpakaian seperti wayang purwa.
[3] Wayang yang terbuat dari kayu dan kepalanya dapat digerakkan.
[4] Wayang yang dilukiskan pada segulung kertas.
[5] Wayang yang terbuat dari kayu dengan tangan dari kulit.
[6] Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa, (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), 312-313.
[7] Lakon yang menceritakan penyucian diri Dewi Sinta dengan cara masuk ke dalam perapian setelah Rama berhasil mengalahkan Rahwana.
[8] S. Haryanto, Bayang-Bayang Adhiluhung, (Semarang: Dahara Prize, 1995), 14.
[9] Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 24. Bdk. Sri Mulyono, Wayang, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), 5-11.
[10] Hazim Amir, 26-35. Bdk. Heniy Astiyanto, 393-398.
[11] S. Haryanto, 29.
[12] S. Haryanto, 151-153.
[13] S. Haryanto, 153.
[14] S. Haryanto, 121.
[15] S. Haryanto, 29 dan 35.
[16] Heniy Astiyanto, 317.
[17] Heniy Astiyanto, 327-328.
[18] S. Haryanto, 153.
[19] Heniy Astiyanto, 326-345
[20] Franz Magnis-Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 48-50. Bdk. Heniy Astiyanto, 357.
[21] Franz Magnis-Suseno, 51-52.
[22] Franz Magnis-Suseno, 52.
[23] S. Haryanto, 43.
[24] S. Haryanto, 44-45.
[25] S. Haryanto, 45. 
[26] Hazim Amir, 19.
[27] S. Haryanto, 178
[28] S. Haryanto, 178-179
[29] Thomas Wiyasa Bratawijaya. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997), 56.
[30] Ann Ruth Willner, “The Neotraditional Accomodation to Independence: The Case of Indonesia.In Cases in Comparative Politics: Asia, edited by Lucian W. Pye. 1970 (Boston: Little, Brown and Company), 242-306. Dikutip oleh Franz Magnis-Suseno, 73.  
[31] Franz Magnis-Suseno, 67-74.