Minggu, 04 November 2012

Producing Creativity with Common Sense



Producing Creativity
with Common Sense
Antonius Siwi Dharma Jati (XII-IPA/02)

Seorang manusia tercipta dan hadir di dunia ini dengan memiliki suatu kekhasan tertentu. Hal ini disebut kekhasan karena tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Di alam ini, manusia termasuk kingdom binatang/ animalia yang hidup berdampingan dengan tumbuhan/ plantae dan juga protista. Ketiga kingdom tersebut adalah jenis–jenis makhluk hidup yang terdapat di bumi ini. Walau termasuk kingdom animalia dengan kata lain dapat disebut binatang, manusia memiliki sebuah keistimewaan yang membuat martabat manusia menjadi paling tinggi di antara makhluk hidup lainnya. Apakah kekhasan yang dimiliki oleh manusia itu?
Keistimewaan manusia terletak pada akal budi yang telah dimilikinya. Sebagai umat beriman, kita meyakini bahwa akal budi itu telah dianugerahkan Tuhan semenjak terjadi peleburan antara sel kelamin jantan/ sperma dengan sel kelamin betina/ ovum yang membentuk zigot di tuba falopi seorang ibu. Akal budi adalah anugerah Tuhan yang paling istimewa kepada kita sebagai manusia, karena dengan anugerah inilah manusia dapat dikatakan sebagai citra Allah (bdk. Kej 1:26).
Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mampu “berkreasi” tentang sesuatu hal yang besar. Seperti apakah hal besar yang dapat dilakukan manusia? Tentunya kita tahu mengenai temuan Albert Einstein yang telah mengejutkan  dunia lewat dalil-dalilnya dan rumus Q=mC2 yang ia ciptakan sebagai rumus energi reaksi inti atom. Atau Joseph Henry seorang fisikawan Amerika (1957-1878) yang mengembangkan desain elektromagnet dan membangun satu dari motor-motor pertama. Atau Louis Pasteur seorang penemu asam tartar yang terbentuk dari fermentasi anggur yang akhirnya berbuah kesimpulan bahwa setiap makhluk hidup memiliki molekul yang dapat terpolarisasi. Dan tentunya masih banyak lagi tokoh-tokoh dunia yang mampu berkreasi menggunakan akal budinya sehingga berhasil menciptakan hal-hal besar. Contoh-contoh di atas menunjukkan fungsi akal budi manusia.
Dengan akal budinya, manusia mampu berpikir dan terus berpikir. Pikiran manusia begitu luas dan tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan daya imajinasinya, manusia dapat membuat terobosan-terobosan spektakuler dan inilah awal dari sebuah penemuan besar itu. Setelah mampu berpikir, manusia akan semakin mengerti dan menyadari akan dirinya sendiri maupun dunia sekitarnya. Oleh karena itulah, segala hal yang telah dilakukannya dapat direfleksikan kembali. Suatu kesadaran diri yang sudah matang akan membawa manusia pada sebuah kreasi.
Sebuah kreasi dapat diartikan sebagai wujud pengembangan diri manusia dengan akal budinya. Inilah pokok dari segala yang telah dilakukannya. Manusia dapat bertanya tentang segala sesuatu yang dijumpainya dalam hidup sehari-hari dan memimpikan sesuatu untuk diwujudkan. Penemuan-penemuan besar dan mengagumkan yang membawa perubahan besar dalam peradaban manusia muncul dari akal budi ini.
Apabila kita kontekstualisasikan dengan kehidupan kita sebagai Seminaris saat ini, apakah kita sudah dapat menggunakan akal budi kita untuk berkreasi? Atau sampai pada tingkat manakah akal budi itu kita gunakan? Apakah baru sampai pada tingkat berpikir? Ataukah sampai pada tingkat menyadari? Ataukah sudah mencapai tingkat berkreasi?
Sebagai seorang seminaris, seharusnya kita sangat bersyukur karena di tempat “pembibitan” ini, kita telah diajak untuk menggunakan akal budi itu untuk menjadi manusia seimbang dan multidimensional. Entah disadari ataupun tidak dalam hidup harian kita, segala aspek baik itu intelektualitas maupun humaniora telah kita asah. Organ tubuh yang menjadi pengendali utama akal budi adalah otak. Dalam proses metabolisme tubuh, otak membutuhkan makanan 20% dari seluruh makanan yang kita konsumsi setiap hari. Semua itu disebabkan karena kerja otak yang begitu keras. Semakin sering otak itu diasah, maka akal budi kita akan semakin berfungsi dengan baik.
Salah satu indikasi bahwa akal budi seminaris telah berfungsi dengan baik adalah “berkreasi”. Berkreasi berarti menciptakan sesuatu. Apakah suatu penciptaan itu harus berbentuk benda berwujud? Barangkali contoh-contoh para ilmuan yang telah disebutkan di atas terlalu menyoroti sebuah kreasi yang identik dengan barang berwujud. Akan tetapi sebenarnya sebuah penciptaan itu tidak harus berupa barang berwujud. Lihatlah Nabi Elia? Dialah utusan Tuhan yang setia menjalankan segala yang dikehendaki-Nya walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan dirinya sendiri yang lebih senang bekerja di bengkel tukang kayunya. Dengan kesetiaannya itu, Malaikat Tuhan menganggap Elia telah berhasil menjalankan tugas yang dikehendaki Tuhan. Dialah Sang kreator. Walaupun ciptaannya tidak tampak oleh mata telanjang berupa barang-barang, tetapi Elia telah menjadi kreator bagi karya Tuhan.
Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa suatu kreasi itu tidak selalu dalam hal yang besar. Hal yang tidak besar di mata manusia belum tentu tidak besar di mata Tuhan. Dalam hidup sehari-hari, kita bisa meneladan nabi Elia dengan taat, setia dan juga disiplin dalam menjalankan acara harian sebagai seminaris. Apabila hal-hal yang sederhana itu kita laksanakan dengan kesungguhan hati, semuanya akan menjadi hal yang besar.
Dalam Kej 3:32 tertulis : “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi satu dari kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Dengan berkreasi, kita telah menggunakan anugerah Tuhan yang terindah itu untuk kembali memuliakan-Nya. Akal budi sebagai sesuatu kekhasan yang membuat martabat kita menjadi lebih tinggi daripada makhluk lain ini memang harus digunakan sebaik-baiknya. “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu ia menyelamatkan jiwanya.”(LR. No 23). Tuhan kita, Yesus Kristus sendiri sering berbicara secara implisit mengajak manusia untuk mempergunakan akal budinya.. Antara lain Tuhan berkata: “Hendaklah kamu cerdik seperti ular” (Mat 10:16). Paling tidak kita sudah dapat menggunakan akal budi kita dengan sebaik-baiknya karena segala yang telah kita pikirkan, sadari dan ciptakan adalah hal-hal yang positif. Semua itu sudah cukup untuk merubah dunia.
Oleh karena itu marilah kita “berkreasi” dalam hal-hal yang sederhana karena berawal dari situ, perubahan-perubahan besar akan terjadi. Kita adalah kreator. Dengan akal budi yang dianugerahkan Tuhan, kita diajak untuk menjadi kreator kehidupan kita untuk memuliakan-Nya. Sudahkah kita mampu berpikir dan menyadari keadaan diri kita dengan akal budi yang kita miliki? Seandainya sudah marilah menuju langkah selanjutnya yaitu berkreasi.