Mendalami Rahmat yang Tepat bagi Serikat Yesus berdasarkan Refleksi Jerónimo Nadal

Mendalami Rahmat yang Tepat bagi Serikat Yesus
berdasarkan Refleksi Jerónimo Nadal


A.      Pengantar
            Studi Spiritualitas yang diselenggarakan oleh Komunitas Kolese Hermanum tahun 2017 ini mengambil tema “Kontemplasi dalam Aksi” dengan buku Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo Nadal's Phrase “Contemplative Likewise in Action” karangan Joseph F. Conwell, SJ sebagai bahan utama. Secara umum, buku ini memaparkan refleksi Jerónimo Nadal terhadap kehidupan Serikat Yesus (SJ) dan anggotanya. Buku ini tidak hanya berisi informasi atau kumpulan aturan-aturan seperti Examen Generale dan Konstitusi, melainkan ajakan bagi kita – para Yesuit - untuk melihat kembali pengalaman-pengalaman kita sebagai anggota SJ dan selanjutnya merefleksikannya.
            Secara khusus, pada bab II yang berjudul “Grace Proper to the Society of Jesus”, dipaparkan refleksi Nadal mengenai rahmat yang tepat bagi SJ sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Ignatius. Rahmat ini disebut sebagai karisma SJ yang bersinggungan langsung dengan cara bertindak SJ dan yang membedakannya dari kelompok religius lain yang sudah ada sebelumnya. Seperti yang ditegaskan dalam Kongregasi Jenderal ke-34, dekrit 2, karisma ini pula lah yang membuat SJ mampu membantu Gereja menjalankan misinya hingga saat ini.
            Mengapa Nadal berbicara tentang rahmat yang tepat bagi SJ? Jawabannya adalah karena terjadi persoalan berkaitan dengan kehidupan para Yesuit saat itu yang menginterpretasikan rahmat yang dimiliki SJ secara tidak tepat dalam arti tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi. Salah satu contohnya, sebagaimana yang akan dibahas secara lebih detail dalam makalah ini, adalah kasus di Coimbra, Portugal. Karena ada kasus tersebut, Ignatius mengutus Nadal untuk memberikan Ekshortasi kepada para Yesuit di Spanyol dengan tujuan untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya dimaksudkan Ignatius dengan rahmat yang tepat bagi SJ sehingga kasus yang sama tidak terulang lagi.
            Dalam makalah ini, akan dipaparkan gagasan utama Joseph F. Conwell, SJ dalam bab II “Grace Proper to the Society of Jesus”, buku Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo Nadal's Phrase “Contemplative Likewise in Action”. Pembahasan akan dimulai dengan penggambaran latar belakang sejarah ketika Nadal diutus untuk memberikan Ekshortasi dan situasi krisis di Coimbra. Selanjutnya, masuk ke pembahasan utama, yakni refleksi Nadal mengenai rahmat yang tepat bagi SJ dalam kelima Ekshortasinya. Makalah ini akan ditutup dengan kesimpulan dan relevansi bagi kita – para Yesuit - yang sedang berjuang untuk menghidupi Karisma SJ di zaman ini. 

B.       Latar Belakang Sejarah
            Tahun 1547-an dapat dikatakan sebagai periode emas SJ sebagai ordo religius yang baru saja didirikan. Jumlah anggota SJ saat itu berkembang pesat hingga mencapai ratusan. Seiring dengan bertambahnya jumlah anggota, SJ juga mendirikan beberapa sekolah di berbagai kota seperti di Paris (1540), Leuven (1542), Valencia (1544) dan Alcalá (1545). Enam tahun kemudian, para Yesuit sudah tersebar hingga ke Melaka, Maluku, Sisilia, Kongo, Brasil, Austria dan Jepang. Selain itu, perkembangan SJ juga ditandai dengan dibukanya kolese-kolese Yesuit di Gandhia, Salamanca, Barcelona, Valladolid, Padua dan Bologna.[1]
            Pada tahun 1553, Ignatius mengutus Nadal ke Spanyol yang pada waktu itu sedang dalam situasi tegang karena di sana ada para inkuisisi yang dengan ketat menjaga supaya para kaum heretik tidak masuk ke pusat kota.[2] Selain di Spanyol, para inkuisisi juga ada di Portugal. Keberadaan para inkuisisi di Portugal sempat membuat Nadal dicurigai karena mereka menemukan salinan Konstitusi yang dikirimkan Ignatius. Salinan Konstitusi tersebut sempat dicurigai sebagai dokumen yang berisi ajaran sesat yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja.[3]
            Dari penggambaran situasi tersebut, tampak bahwa Ignatius dan para sahabatnya berjuang keras menghadapi tantangan dari pihak luar, salah satunya dari kaum inkuisisi. Hal ini sudah cukup melelahkan. Ditambah lagi, dari sisi internal SJ sendiri masih ada persoalan lain yang juga sulit untuk diatasi, yakni masalah cara bertindak dan sikap para Yesuit yang tidak tepat. Salah satu contoh yang dapat disoroti adalah masalah di Coimbra.

C.    Krisis di Portugal
            Di antara para Primi Patres, Simão Rodrigues adalah satu-satunya orang Portugal. Oleh sebab itu, ia menjadi pilihan pertama Ignatius untuk menjalankan misi Portugal di India.  Dengan kata lain, Ignatius ingin supaya Rodrigues berangkat ke India sebagai misionaris. Akan tetapi, Rodrigues telanjur memiliki relasi yang sangat dekat dengan para bangsawan Portugal. Raja Portugal bahkan sangat terpesona dengan gagasan dan metode yang diterapkan Rodrigues dalam memimpin dan membangun sekolah di Portugal. Itulah sebabnya, Raja meminta Rodrigues untuk tetap tinggal di Portugal dan mengizinkannya membangun kolese[4] di Coimbra. Kedekatan hubungan antara Raja dengan Rodrigues menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Ignatius. Ignatius pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengutus Rodrigues ke India. Ia meminta sahabat yang paling dikasihinya, yakni Fransiskus Xaverius untuk menggantikan Rodrigues menjalankan misi ke India.[5]
            Permasalahan di Coimbra ini termasuk persoalan yang serius. Rodrigues yang menjadi pembesar di Portugal saat itu bersikap keras kepala dan tidak taat pada Ignatius. Ia merasa lebih tahu mengenai segala hal yang ada dalam kehidupan komunitasnya di Coimbra dibandingkan Ignatius. Lebih parah lagi, para Yesuit di Coimbra yang dipimpin oleh Rodrigues menerapkan segala aturan kehidupan monastik secara radikal seperti berpantang dan bermati raga. Hal itu membuat kehidupan komunitas Coimbra menjadi kacau karena membuat para Yesuit – terutama Rodrigues - menjadi tidak taat dan tidak siap sedia diutus.[6] Kondisi krisis dalam komunitas Coimbra inilah yang menjadi titik tolak bagi Ignatius untuk meminta Nadal mengingatkan kembali para Yesuit terkait dengan rahmat yang tepat bagi SJ sesuai dengan yang dimaksud Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi. Oleh sebab itu, pada tahun 1554, Nadal berangkat ke Spanyol untuk memberikan Ekshortasi. Ada lima pokok penting dalam Ekshortasi yang disampaikan Nadal kepada para Yesuit di Spanyol. Pada bagian berikutnya, akan dipaparkan kelima pokok Ekshortasi tersebut.

D.    Ekshortasi I: Serikat Yesus Ada dalam Tegangan
            Dalam Ekshortasi yang pertama di Spanyol, Nadal menguraikan satu poin penting yang membedakan SJ dengan kelompok religius lainnya dengan mengacu pada Examen Generale dan Konstitusi. Masing-masing kelompok religius memiliki perannya sendiri dalam melayani umat Allah di dalam Gereja-Nya. Peran tersebut lah yang kemudian membentuk cara hidup masing-masing kelompok religius. Cara hidup monastik, sebagaimana dikatakan Nadal sebagai salah satu rahmat, juga merupakan suatu cara hidup dalam kelompok religius tertentu, misalnya Ordo Sancti Benedicti (OSB) dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO). Memang dalam aturan yang mereka buat, seperti itulah cara hidupnya - monastik. Akan tetapi, monastik bukanlah cara hidup SJ. Nadal menegaskan dalam Ekshortasinya ini bahwa SJ bukanlah Serikat yang monastik dan tidak seharusnya diatur oleh norma-norma monastik. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh para Yesuit di Coimbra jelas keliru, karena mereka menerapkan hidup monastik yang radikal.[7]
            Refleksi Nadal yang mengacu pada Examen Generale dan Konstitusi ini dimaksudkan supaya para Yesuit semakin paham cara bertindak Serikat. Artinya, di dalam SJ, terdapat aturan yang telah ditulis oleh Ignatius sendiri dalam Examen Generale dan Konstitusi. Aturan tersebut bukanlah aturan monastik melainkan aturan yang sifatnya rasuli. Examen Generale dan Konstitusi tidak lain merupakan lanjutan dari misteri inkarnasi sebagaimana yang disebutkan Ignatius dalam Latihan Rohani 101-109. Secara tidak langsung, Nadal ingin menegaskan bahwa SJ berpartisipasi dalam karya perutusan Allah di dunia dan bukan hanya meratapi dan merenungkan dunia di dalam biara (kehidupan monastik).[8]
            Dari pemaparan di atas, jelas bahwa sesungguhnya refleksi Nadal ini dimaksudkan untuk mengajak para Yesuit sadar akan tugas perutusannya yang bukan bersifat monastik dan tertutup dengan dunia luar. Nadal mengingatkan para Yesuit bahwa kehidupan manusia itu selalu dalam tegangan, demikian pula kehidupan para Yesuit – mengabdikan diri pada pelayanan duniawi dan juga kepada Allah. Pola hidup dan cara bertindak yang seperti inilah yang dirasakan sebagai rahmat khusus yang diberikan Allah kepada SJ. Dengan kata lain, Nadal ingin menekankan bahwa Yesuit tidak dipanggil sebagai seorang monastik, tetapi menghayati hidupnya dalam pelayanan di dunia. Inilah rahmat panggilan Ke-Yesuit-an.[9]
           
            Poin penting Ekshortasi pertama Nadal di Spanyol tahun 1554 adalah kritiknya terhadap praktik hidup monastik yang diterapkan oleh para Yesuit di Coimbra. Ia mencoba menegaskan apa yang dimaksud Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi tentang cara hidup Serikat yang bukan monastik. Akan tetapi, apakah hal ini berarti bahwa Nadal menghendaki semua Yesuit untuk aktif dan sama sekali menghiraukan aspek kontemplatif?
            Untuk memperluas perspektif kita, marilah kita lihat kehidupan kita sebagai Yesuit pada zaman ini. Pada zaman ini, memang permasalahan seperti yang terjadi di Coimbra ini sangat jarang terjadi.[10] Justru yang lebih terjadi adalah sebaliknya, yakni para Yesuit terlalu aktif dalam berkarya sehingga aspek hidup doa ditinggalkan. Seandainya Nadal hidup pada zaman ini, kiranya ia akan memberikan Ekshortasi yang bertujuan untuk mendorong para Yesuit untuk memperhatikan hidup doa yang cenderung dinomorduakan, seperti halnya Bapa Suci Paus Fransiskus beberapa tahun yang lalu mengingatkan bahwa para Yesuit perlu berdoa lagi. Memang dalam konteks zaman ini, para Yesuit lebih sering jatuh pada tindakan mengabaikan hidup doa dalam arti meluangkan waktu secara khusus untuk menjamin relasi dengan Allah. Barangkali, dengan nada satir, kita dapat mengatakan bahwa cara bertindak Serikat yang aktif “sangat dihayati” oleh Yesuit masa kini, sehingga seringkali kehidupan karya kita di dunia dijadikan yustifikasi untuk membenarkan tindakan meninggalkan doa.  
            Perlu diingat bahwa dalam Ekshortasi pertama, Nadal menekankan unsur kehidupan Yesuit yang selalu berada dalam tegangan. Perbedaan situasi yang terjadi tahun 1554 dan saat ini - tahun 2017 harus dipandang secara lebih luas. Maksud dari berada dalam tegangan adalah tidak jatuh pada salah satu ekstrem. Dengan kata lain, terlalu monastik – seperti yang terjadi di Coimbra – adalah keliru dan terlalu aktif – seperti yang terjadi di kehidupan Yesuit zaman ini juga keliru. Dalam hal ini, menerapkan prinsip “jalan tengah” adalah yang paling tepat sesuai dengan yang dimaksud Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi.
                                   
E.     Ekshortasi II: Serikat yang Paling Hina
            Examen Generale membahas tentang pemeriksaan serta informasi yang penting diketahui berkaitan dengan para kandidat atau mereka yang ingin diterima dalam SJ. Examen Generale dibuka dengan frasa “Serikat yang Paling Hina”. Dalam Ekshortasi kedua, Nadal memberikan penekanan pada frasa “Serikat yang Paling Hina” ini. Penekanan ini dimaksudkan supaya menyadarkan para Yesuit untuk selalu bersikap rendah hati sebagai konsekuensi masuk ke dalam Serikat yang hina.[11]  
            Meskipun dalam realitas ungkapan “Serikat yang Paling Hina” ini memungkiri persepsi umum, ungkapan ini sesungguhnya mengacu pada “The Heart of the Jesuit Ideal” yakni hidup untuk mencapai Kerendahan Hati Tingkat III yang terungkap dalam Latihan Rohani 167.[12] Hal ini tampak dalam pemilihan nama Serikat Yesus. Nama Serikat Yesus sesungguhnya adalah proses pengosongan diri atau kénōsis (κένωσις) dari misteri inkarnasi. Oleh sebab itu, dalam Kongregasi Jendral ke-32, dekret 2 mengenai Pelayan Perutusan Kristus (secara khusus pada mereka yang miskin), Serikat masuk ke dalam pergumulan itu dan memposisikan diri sebagai pelayan. Menjadi pelayan berarti melayani yang miskin, memperjuangkan keadilan, terbuka terhadap kultur yang beragam, berkolaborasi dalam pelayanan dan saling mendengarkan serta berdialog dengan tradisi lainnya.[13]
                                   
            Berkaitan dengan sikap kerendahan hati yang ditekankan Nadal dalam Ekshortasi kedua ini, baik juga kiranya jika kita mencoba merefleksikan kehidupan kita saat ini. Sama halnya dengan menghidupi tegangan – poin penting dalam Ekshortasi pertama, menghidupi kerendahan hati juga menjadi tantangan bagi kita saat ini. Sudah menjadi kebenaran umum bahwa seringkali kita dipandang sebagai kelompok religius yang unggul dalam berbagai bidang. Orang lain di sekitar kita, termasuk yang kita layani sangat menghormati dan mengagumi kita. Hal ini sering membuat kita terlena bahwa sebenarnya, kita dipanggil dalam “Serikat yang Paling Hina” dan menjadi pelayan.
            Ekstrem lain yang juga mungkin terjadi terkait dengan kerendahan hati ini adalah tindakan menyangkal diri secara radikal. Inilah yang terjadi pada para Yesuit di Coimbra. Mereka tentunya memiliki maksud baik untuk mengosongkan diri, tetapi cara yang ditempuh keliru. Persis cara mengosongkan diri dengan tindakan menyangkal diri secara radikal, seperti bermati raga berlebihan, bagi para Yesuit bukanlah yang dikehendaki Ignatius karena cara semacam ini tidak rasuli.
            Berhadapan dengan dua ekstrem dalam hal penghayatan sikap kerendahan hati, prinsip “jalan tengah” juga menjadi pertimbangan terbaik. Menjadi rendah hati berarti menyadari diri sebagai pelayan sekaligus tetap rasuli dalam bertindak. Para frater atau bruder Kolese Hermanum yang memilih untuk tidak menggunakan alat komunikasi ketika sudah masuk dalam kegiatan Ad-Extra, jelas bukan sikap kerendahaan hati. Begitu pula, ketika para frater terlalu terlena dengan pujian atau kehormatan yang diberikan orang lain karena pencapaian tertentu, juga jelas bukan sikap kerendahan hati. Jika kita masih dapat menggunakan istilah “tegangan”, maka dalam menghayati kerendahan hati tersebut, kita juga berada dalam tegangan antara dua ekstrem yang mungkin terjadi.
                                   
F.     Ekshortasi III-V: Membiarkan Roh Membimbing dan Memberikan Kehidupan
            Dalam Ekshortasi ketiga, Nadal menegaskan bahwa penghayatan kaul-kaul Yesuit menciptakan keharmonisan yang luar biasa dalam setiap talenta yang dimiliki. Untuk dapat menghidupi kaul-kaul tersebut, dibutuhkan penambahan instrumen-instrumen Latihan Rohani seperti doa, meditasi, Examen, Ekaristi dan lain sebagainya yang menjadi sumber dari cara bertindak Serikat. Selain itu dibutuhkan pula media untuk mengekskusinya sehingga dapat terungkap dalam tindakan nyata. Pada akhirnya, para Yesuit menghidupi keutamaan itu dan menjalankannya seperti dalam tindakan ketaatan, dalam berkotbah, dalam berelasi dengan sesama dan lain-lain. Dalam hal ini, Nadal menghendaki supaya para Yesuit membiarkan roh membimbing dan memberikan kehidupan.[14]
            Dalam Ekshortasi keempat, Nadal menggambarkan “Walking in the Spirit” seperti hidup dalam kesederhanaan dan kejernihan (simplicity and clarity). Situasi yang demikian inilah yang menjadi sumber harapan dan cita-cita Serikat. Di sini, Nadal menegaskan bahwa di dalam Serikat, para Yesuit diutus bukan untuk menjalankan apa yang dibutuhkan SJ saja, melainkan lebih menegaskan patisipasi dalam proses pengosongan diri untuk akhirnya dapat bersatu kembali dengan Yesus dan melanjutkan misi-Nya yang diberikan kepada setiap Yesuit melalui Serikat ini.[15]
            Dalam Ekshortasi kelima, Nadal menguraikan tentang pelayan yang menderita (The Suffering Servant). Misi Yesus Kristus di dunia akan membawa pada penderitaan dan bahkan kematian. Hal ini dikatakan Nadal supaya diketahui oleh siapa pun yang berkehendak untuk diterima dalam SJ. Itulah sebabnya, para kandidat yang ingin masuk ke dalam SJ harus mengalami pencobaan supaya siap mengalami penderitaan dalam pelayanannya kelak.[16]

            Setiap dari kita memiliki talenta tertentu yang seringkali digunakan SJ untuk masuk lebih dalam dalam tugas perutusan. Sebagai contoh, kita memiliki talenta dalam studi filsafat. Selanjutnya, kita diutus untuk studi khusus filsafat dan kemudian menjalani tugas perutusan sebagai tenaga pengajar filsafat. Dalam hal ini, yang patut menjadi perhatian kita, terkait dengan refleksi Nadal dalam Ekshortasi ketiga, keempat dan kelima, adalah bahwa dalam mengemban tugas perutusan, kita tidak hanya sekadar menjadi apa yang dibutuhkan SJ atau Gereja saja, melainkan lebih dalam lagi, kita diajak untuk berpartisipasi secara langsung bersama Kristus dengan bimbingan Roh di dunia. Aspek pertisipasi dalam karya Kristus di dunia ini seringkali kita lupakan ketika sudah mengemban tugas perutusan. Tanpa mempertimbangkan aspek ini, kita tidak berbeda dengan orang lain yang juga menekuni bidang seperti yang kita tekuni dalam tugas perutusan.

G.      Kesimpulan dan Relevansi
Dari seluruh pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut. Pertama, Nadal berbicara tentang rahmat yang tepat bagi SJ karena ada persoalan berkaitan dengan kehidupan para Yesuit saat itu yang menginterpretasikan rahmat yang dimiliki SJ secara tidak tepat dalam arti tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi. Sebagai contoh, kasus di yang terjadi pada para Yesuit di Coimbra, yang mana mereka menjalankan cara hidup tidak rasuli yang membuat mereka tidak taat dan tidak siap sedia diutus.
Kedua, dalam Ekshortasi pertama, Nadal menegaskan bahwa SJ memiliki caranya sendiri dalam menjalankan tugas perutusan Kristus di dunia, yakni terlibat secara langsung dalam persoalan dunia dan tidak menjalankan praktik hidup monastik. Hal ini seringkali membuat SJ selalu berada dalam tegangan antara mengabdikan diri pada Allah dan dunia. Selanjutnya, dalam Ekshortasi kedua, Nadal menegaskan maksud Ignatius dalam frasa “Serikat yang Paling Hina” dalam Examen Generale, yang memiliki konsekuensi bahwa para Yesuit harus bersikap rendah hati dan menyadari panggilannya sebagai pelayan.
Ketiga, dalam Ekshortasi ketiga, keempat dan kelima, Nadal menegaskan pentingnya memegang semangat berpartisipasi dalam karya perutusan Kristus di dunia dalam setiap tugas perutusan yang diemban. Dengan kata lain, para Yesuit tidak hanya berkarya demi karya itu sendiri, melainkan berkarya karena ingin terlibat bersama Kristus yang juga sedang berkarya. Dalam hal ini, aspek partisipasi dalam karya Kristus di dunia tidak boleh ditinggalkan.
Selanjutnya, apa relevansi yang dapat kita ambil sebagai bahan pembelajaran berdasarkan refleksi Nadal ini? Nadal memang memberikan Ekshtortasi bagi para Yesuit dalam situasi tertentu pada zaman itu – tahun 1554. Akan tetapi, refleksi Nadal ini bersinggungan langsung dengan cara bertindak kita sebagai Yesuit. Oleh sebab itu, refleksi Nadal ini tetap relevan untuk dihidupi oleh para Yesuit pada zaman ini. Beberapa poin penting dalam setiap Ekshortasi Nadal memiliki implikasi pada kehidupan real kita saat ini. Kurang lebih ada tiga hal yang dapat kita jadikan pembelajaran. Pertama, kita tidak seharusnya menjalankan praktik hidup monastik, tetapi juga tidak melupakan dimensi rohani dalam arti meluangkan waktu untuk membangun relasi dengan Allah dalam aktivitas kita. Kedua, kita diingatkan kembali untuk bersikap rendah hati karena kita masuk ke dalam Serikat yang paling hina. Ketiga, kita didorong untuk menghayati tugas perutusan kita sebagai tindakan partisipasi dengan perutusan Kristus di dunia.


Daftar Pustaka
Conwell, Joseph F. Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo Nadal's Phrase “Contemplative Likewise in Action”. St. Louis: The Institute of Jesuit Sources, 2003.

Durant, Will. The Age of Faith. New York: MJF Books, 1950.

Loyola, Ignatius. Latihan Rohani. Diterjemahkan oleh J. Darminta, SJ. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Provinsi Indonesia Serikat Yesus. Kongregasi Jenderal 32 & 33 Serikat Yesus. Yogyakarta: Kanisius 1988.

Provinsi Indonesia Serikat Yesus. Konstitusi Serikat Yesus dan Norma Pelengkap. Yogyakarta: Kanisius 1998.






[1] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo Nadal's Phrase “Contemplative Likewise in Action”, (St. Louis: The Institute of Jesuit Sources, 2003), hlm. 24.
[2] Will Durant, The Age of Faith, (New York: MJF Books, 1950), hlm. 784. “Making every allowance required of an historian and permitted to a Christian, we must rank the Inquisition, along with the wars and persecutions of our time as among the darkest blots on the record of mankind, revealing a ferocity unknown in any beast.”
[3] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 24.
[4] “Kolese” yang dimaksud di sini bukan mengacu pada sekolah, melainkan residen tempat tinggal para skolastik yang sedang menempuh formasi. Bdk. Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 25-26. “The king started talking about a Jesuit college (residence) in Coimbra, a town centrally located, where young Jesuits could live and attend the University of Coimbra.
[5] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 25-26.
[6] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 26.
[7] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 30-32.
[8] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 33.
[9] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 36-37.
[10] Kasus terakhir yang terjadi di Indonesia adalah dismisi P. Martinus Suhartono Sanjoyo dari Serikat Yesus pada 8 September 2015 karena memutuskan menjadi Eremit Diosesan Keuskupan Agung Semarang.
[11] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 37.
[12] LR 167: Kerendahan hati III. Paling sempurna. Setelah kerendahan hati I dan II tercapai, asalkan sama artinya bagi kehormatan dan kemuliaan Allah yang Mahaagung, supaya dapat meneladan dan lebih menyerupai Kristus Tuhan kita dalam kenyataan, aku menghendaki dan memilih kemiskinan bersama Kristus, yang miskin, melebihi kekayaan; penghiburan bersama Kristus yang dihina, melebihi penghormatan; aku memilih dianggap bodoh dan gila demi Kristus yang lebih dahulu dianggap begitu, daripada dianggap pandai dan bijaksana di dunia ini.
[13] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 38.
[14] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 39.
[15] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 40.
[16] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 40-41. 


Commentaires

Articles les plus consultés