Askese Intelektual Tiada Henti

Askese Intelektual Tiada Henti
Sch. Antonius Siwi Dharma Jati, SJ

Saya bersyukur atas selesainya semester VI yang bagi saya secara pribadi cukup melelahkan. Rasa syukur ini semakin lengkap setelah mengetahui hasil studi yang sangat memuaskan. Saya merasa berada dalam performa terbaik pada semester ini dibandingkan dengan semester-semester sebelumnya. Indeks Prestasi sempurna seolah seperti air yang melegakan seluruh kelelahan selama semester ini karena dalam berproses, kadang-kadang saya harus memeras keringat untuk dapat meraih yang terbaik. Saya merasa rahmat Tuhan benar-benar melimpah atas diri saya.
Selain karena hasil studi, saya juga bersyukur karena semakin menep dalam menatap perjalanan hidup panggilan. Semakin hari saya merasa semakin dipercaya oleh Serikat Yesus untuk menjalani tugas perutusan studi. Hal inilah yang memunculkan kesadaran diri saya sebagai skolastik yang secara bertahap senantiasa diundang untuk semakin terinkorporasi ke dalam tubuh Serikat. Kesadaran ini pulalah yang turut mendorong saya untuk memperhatikan aspek hidup rohani sebagai jantung hidup panggilan saya. Dalam penghayatan hidup rohani, saya merasa terbantu dan berkembang karena tinggal bersama prefek spiritualitas dan juga tetap menjalani bimbingan rohani dengan P. Benedictus Hari Juliawan, SJ.  
Secara umum, saya merasa berada dalam situasi Hiburan Rohani saat memasuki masa liburan akhir tahun ajaran ini. Akan tetapi, seperti biasanya, saya selalu tidak pernah tahan dengan kepuasan dan situasi Hiburan Rohani yang sangat dominan. Inilah kecenderungan diri saya yang tidak pernah pernah puas dan selalu ingin mengejar yang lebih dari yang sudah saya capai. Itulah sebabnya, pada masa liburan ini, saya tidak ingin membiarkan diri ini nyaman dan puas dengan segala macam pencapaian. Maka dari itu, sejak awal sudah saya rencanakan untuk melakukan askese dan jenis askese yang ingin saya buat untuk saat ini adalah askese intelektual.
Tindakan konkret dalam askese intelektual selama liburan ini terwujud dalam 3 kegiatan yang memang saya pilih dengan penuh kesadaran. Pertama dan yang terpenting adalah mengerjakan skripsi sarjana sebagai tugas akhir S1 Program Studi Ilmu Filsafat. Kedua, mengingat saya sudah akan dibebastugaskan dari kegiatan Ad-Extra, maka saya ingin menyelesaikan laporan akhir Promosi Panggilan dalam bentuk catatan colloquium kandidat dan juga laporan keuangan supaya nanti suksesor saya dapat segera bekerja dengan baik. Dalam membuat laporan akhir, saya tidak meninggalkan aspek intelektualitas di mana semuanya saya buat dengan jelas, transparan dan dapat dipahami oleh orang lain.
Niat konkret yang ketiga ialah menyelesaikan kursus bahasa Prancis level B1. Untuk yang ketiga ini, mungkin tidak tepat jika saya kategorikan sebagai askese intelektual yang membuat diri tidak nyaman, karena dilihat dari aspek rasa-perasaan, yang terjadi justru sebaliknya, yakni saya sangat menikmati dan berhasrat untuk terus mengembangkannya sampai level tertinggi (B2). Akan tetapi, pada masa nirkuliah ini, saya merasa kegiatan ini dapat terus membangun suasana askese intelektual. Sebagai contoh, daripada sibuk dengan media sosial atau game online (godaan terbesar bagi saya ketika sedang studi), jauh lebih berguna mendengarkan video atau browsing “La préparation à l'examen du DELF”, membaca De la grammatologie (buku utama skripsi) atau hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa Prancis.
Saat ini, saya sudah menyelesaikan level B1. Untuk tetap membangun suasana askese intelektual supaya saya tidak terlena dalam studi, saya menginginkan untuk tetap melanjutkan kursus bahasa Prancis ke level tertinggi (B2) meskipun sudah tingkat IV. Pertimbangan ini saya buat atas dasar kesadaran bahwa bahasa Prancis sangat membantu studi saya, terutama dalam memahami pemikiran para filsuf Prancis. Akan tetapi, sekali lagi saya tegaskan bahwa dalam hal ini saya bersikap lepas-bebas. Sebagai anggota Serikat Yesus, saya memiliki hak untuk mengusulkan, tetapi tetap keputusan pembesar (dalam hal ini Prefek Studi dan Rektor) adalah yang saya taati. Pada kesempatan ini, saya ingin sekalian mohon supaya usulan saya ini dipertimbangkan oleh para formator demi kebaikan dan perkembangan diri saya.
Dalam rangka askese intelektual itu pula, saya mencoba untuk tidak mengagendakan acara lain selain tiga kegiatan di atas dan acara-acara komunitas yang sifatnya wajib, seperti Refleksi Akhir Tahun, Kursus Jurnalistik dengan Tim Majalah BASIS, Retret Oktiduum, Forum Provinsi, Tahbisan Imam SJ dan Ignatius Day. Akan tetapi, meskipun sejak awal sudah saya antisipasi supaya tidak banyak kegiatan dan dapat fokus pada askese intelektual saya, tetap saja ada distraksi yang saya alami. Hal yang masih saya sesali dalam masa liburan ini ialah fakta bahwa terkadang saya kalah dengan keinginan untuk mencari hiburan via internet, terutama dalam hal nonton film streaming, yang sebenarnya melawan kehendak untuk fokus pada askese intelektual, terutama penulisan skripsi.
Dari beberapa reviews atas agenda liburan saya serta dengan kesadaran bahwa masih ada distraksi dalam terutama dalam bentuk penggunaan internet, maka saat ini, saya ingin membangun niat baru untuk perjalanan formasi setahun ke depan. Mengingat ini adalah tahun terakhir saya di Kolese Hermanum, saya tidak ingin lengah sedikitpun. Itu artinya saya harus tetap membuat diri sendiri selalu dalam situasi tidak nyaman. Seperti halnya yang sudah saya lakukan selama liburan ini, demikian pula sebagai niat ke depan, saya ingin tetap melakukan askese intelektual.
Pada masa akhir seperti saat ini, ibarat seorang runner yang sudah memandang dekat garis finish, saya sangat berhasrat untuk sprint secepat mungkin untuk dapat menyelesaikan perlombaan dengan elegan dan bukan asal selesai saja. Yang saya maksud dengan keinginan untuk sprint bukanlah kehendak untuk berusaha secepat mungkin menyelesaikan masa formasi studi filsafat ini – seperti halnya yang sering ditekankan oleh para formator sehingga paling tidak untuk saya menimbulkan kesan bahwa skolastik yang baik adalah yang selesai studi pada tahun ketiga setengah - melainkan menikmati proses tahap demi tahap sampai akhirnya, semua yang saya pelajari benar-benar menjadi milik saya. Jadi, bagi saya sebuah akhir yang elegan yang ingin saya capai adalah ketika semua yang saya pelajari telah menjadi milik saya dan bukan ketika saya menjadi yang tercepat dalam menyelesaikan studi.
Penulisan skripsi akan menjadi prioritas utama saya sampai akhir tahun ini. Meskipun saya memiliki pandangan bahwa menyelesaikan pertandingan dengan elegan bukan berarti menjadi yang tercepat dalam menyelesaikan tugas akhir, tetap saja saya harus memasang target selesai. Dalam hal ini, saya memberi batas penyelesaian skripsi pada akhir tahun ini, yakni pada Desember 2016). Saya sadar bahwa waktu yang tersedia tidak lama, sedangkan tema skripsi yang saya pilih cukup sulit, yakni Analisis Pemikiran Jacques Derrida dalam De la grammatologie. Akan tetapi, saya tidak gentar akan kesulitan yang nantinya harus dihadapi.
Dari pengalaman selama ini, justru ketika menghadapi kesulitan dan tertekan, saya semakin termotivasi untuk berjuang. Saya adalah tipe orang yang dapat bersikap keras terhadap diri sendiri apalagi ketika mendapat kepercayaan tertentu. Kesempatan studi filsafat yang memang saya minati ini saya anggap sebagai bentuk kepercayaan Serikat Yesus pada saya, sehingga saya wajib membalas kepercayaan itu dengan kesungguhan. Atas dasar itulah, saya tidak gentar dan yakin dapat melewati semua kesulitan apapun bentuknya.
Mengingat penyesalan saya selama liburan yang kadangkala terdistraksi oleh internet, maka langkah konkret yang ingin saya bangun ialah tidak membuka internet ketika sedang menulis skripsi. Saat ini saya mendapat pinjaman laptop dari Minister Kolese Hermanum. Langkah konkret lain selain mematikan koneksi internet saat sedang menulis ialah tidak memasang aplikasi apapun pada laptop ini yang tentunya sangat riskan mengganggu penulisan skripsi.
Bagi saya, saat ini adalah masa injury time yang sangat krusial di mana ketika saya lengah, maka saya akan kalah. Saya ingat persis pertandingan final Championnat d'Europe de football pada tanggal 10 Juli lalu, ketika tim idola saya, Prancis, gagal keluar sebagai juara di kandang sendiri (Stade de France, Saint-Denis) karena gol Eder, striker Portugal, pada masa injury time. Berkaitan dengan diri saya, penentu finalitas atas hidup saya adalah diri saya sendiri. Saya sudah berjuang sampai sejauh ini dan tidak ingin berakhir dengan kekalahan. Kekalahan yang saya maksud di sini tentu saja adalah seandainya skripsi tidak selesai tepat waktu dan kegagalan-kegagalan lainnya. Jangankan kekalahan, bahkan kemenangan yang tidak elegan pun saya anggap sama nilainya dengan kekalahan. Dengan kata lain, hanya satu hal yang saya inginkan yakni menyelesaikan pertandingan dengan kemenangan elegan.

Penggambaran sebuah pertandingan untuk masa akhir formasi filsafat memang terasa mengerikan. Oh là là, ini saya sadari sangat riskan untuk perkembangan psikologis diri saya karena sama halnya dengan menempatkan diri selalu pada situasi tertekan. Saya tentunya merasa tertekan dengan target-target yang ingin saya capai sendiri. Akan tetapi, itulah yang saya kehendaki, itulah yang saya inginkan dan itulah yang membuat hidup saya lebih hidup. Voilà, inilah askese intelektual yang tiada hendi. Semakin saya tertekan, semakin saya tidak nyaman, maka semakin termotivasi pula saya untuk terus-menerus berkembang dalam formasi sampai pada akhirnya nanti saya siap menjalani tugas perutusan apapun dari Serikat Yesus.  

Commentaires

Articles les plus consultés