My Life with the Saints

To be a Saint Means to be Myself
Antonius Siwi Dharma Jati, SJ
Judul                : My Life with the Saints
Pengarang      : James Martin, SJ
TahunTerbit     : 2006
Penerbit           : Loyola Press, Chicago

Pengantar
Seorang rahib trapis, Thomas Merton, dalam bukunya New Seeds of Contemplation menuliskan to be a saint means to be myself. Kata-kata itulah yang menginspirasi James Martin, seorang imam Yesuit, merefleksikan pengalaman-pengalaman pengenalan dan devosinya terhadap para kudus dalam buku My Life with the Saints. Hampir dalam setiap bagian dalam buku ini, ia mengutip kata-kata Merton. Ia menyelesaikan penulisan buku ini pada waktu masih skolastik filosofan. Akan tetapi, di bagian akhir ia menuliskan bahwa refleksinya terhadap kehidupan para kudus tidak akan pernah selesai. Keterbatasan manusiawinya membuatnya harus mengakhiri penulisan buku itu.
Ia merefleksikan pengalaman devosi terhadap para kudus dengan hidup hariannya sebagai seorang Yesuit. Gereja Katolik memiliki para kudus yang mengabdikan seluruh hidup mereka secara penuh bagi keberadaan dan kesatuan Gereja dari masa ke masa. Bunda Maria sebagai bunda Kristus sejak semula ditetapkan sebagai orang kudus yang melalui mediasinya, Sang Penebus dunia terlahir. Ada juga St. Yusuf suami Maria yang memberikan keteladanan hidup tersembunyi (hidden life) dan kemudian St. Petrus sebagai rasul yang dipilih Kristus sendiri yang kepadanya Gereja dipercayakan. Selain itu, muncul juga para kudus yang dengan pengalaman personal berjumpa dengan Tuhan dan pada akhirnya mengabdikan hidup dan karyanya seperti St. Fransiskus Assisi, St. Theresia Lisieux, St. Bernadeta Soubirous dan St. Ignatius Loyola. Dalam kegetiran zaman penindasan, muncul juga para martir yang lebih memilih mati daripada mengingkari iman seperti para martir di Uganda dan St. Jeanne d’Arc. Kemudian para pemikir ulung yang menjadi pemecah masalah  dan pembaharu Gereja seperti Thomas Aquinas dan Paus Yohanes XIII. Seiring dengan perkembangan akal budi, manusia mulai mempertentangkan antara iman akan eksistensi Allah dengan penalaran akal budi. Sosok St. Thomas Aquinas hadir sebagai seorang doktor atau pujangga Gereja yang sealiran dengan seorang teolog abad XI, St. Anselmus Canterbury dengan paham Fides Quaerens Intellectum-nya. Dengan demikian, ia berjasa dalam mendamaikan kedua kutub yang pada masanya bertentangan, yakni kutub akal budi dan iman. Sementara itu, ada juga para pelayan Gereja bagi mereka yang terpinggirkan seperti Aloysius Gonzaga, Pedro Arrupe, Ibu Teresa dari Calcuta dan Dorothy Day. Melalui merekalah, Gereja senantiasa berdoa dan bergerak menuju kekudusan.

Para Kudus Gereja: Suri Teladan Hidup Kesucian
Pada waktu James Martin menjalani formasi Novisiat, ia berpandangan bahwa jika Tuhan dipercaya senantiasa mendengarkan dan mengabulkan setiap doa manusia, lantas mengapa manusia masih membutuhkan perantaraan para kudus. Selanjutnya, ia mengisahkan pengalaman spiritualnya secara sederhana dan seolah-olah ia mengajak saya sebagai pembaca menemukanTuhan dalam hidup sehari-hari yang barangkali terlewatkan atau tidak disadari. Misalnya, ia mengenal St. Yudas Tadeus, salah satu rasul Kristus yang jarang muncul dalam Kitab Suci, dari sebuah gambar yang ada di laci tempat ia menyimpan kaos kaki (sock drawer). Ia tidak pernah sama sekali berpikir untuk mencaritahu siapa gambar yang tertempel di sock drawer-nya. Baru setelah dewasa ia mengenali dan meneladani aspek kesetiaan kemuridannya. Ia lantas menyadari bahwa Tuhan bermaksud untuk mengenalkan hidup kesucian sejak ia masih kanak-kanak melalui hidup St. Yudas Tadeus.
Lain halnya cara Tuhan memperkenalkan Jeanne d’Arc padanya. Ia mengenali Jeanne d’Arc pada waktu belajar di sekolah menengah (Primary School). Pada waktu itu, ia sangat menyukai pelajaran bahasa Prancis karena baginya Bahasa Prancis sangat elegan, lebih internasional dan lebih misterius. Dari belajar bahasa Prancis, ia mengetahui nama Jeanne yang dibaca seperti Zhaann dan juga para kudus lainnya yang sebagian besar berasal dari Prancis. Pengalaman sederhana masa kanak-kanak James Martin rupanya menjadi pintu masuk Tuhan untuk mengajarkan kesucian padanya.
Setelah menjadi seorang Yesuit, ia mulai mengenal sosok Ignatius Loyola, Pedro Arrupe dan Aloysius Gonzaga. Setiap Yesuit wajib mempelajari hidup salah seorang bapa pendirinya, yakni Ignatius Loyola melalui autobiografi atau tulisan-tulisan lain seperti The First Jesuits karya Mary Purcell. Dengan mempelajari kisah hidup para kudus Serikat Yesus, ia menemukan karisma Serikat yang tertuang secara nyata dalam Formula Institusi dan Konstitusi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Tuhan memperkenalkan para kudus Serikat Yesus melalui cara yang berbeda lagi, yakni melalui proses formasi sebagai Yesuit.
Pada saat saya membaca bagian kisah hidup St. Ignatius Loyola, secara simultan saya bersama dengan komunitas Yesuit Kolese Hermanum sedang merayakan hari peringatan St. Ignatius Loyola. Setelah ekaristi bersama dan dilanjutkan dengan Gaudium Domesticum. Dengan hati berkobar, saya menulis sebuah puisi dalam bahasa Inggris terinspirasi dari tulisan James Martin ini. Sebagaimana James Martin, sebagai seorang editor majalah Katolik nasional, America, lebih memilih mengungkapkan pengalaman spiritualnya dalam bentuk tulisan, saya pun ingin membagikan tulisan puisi saya dalam kaitannya dengan St. Ignatius Loyola.

St. Ignatius of Loyola: A Sinner yet Called[1]

Today, all Jesuits around the globe with the universal Church celebrate the feast of St. Ignatius of Loyola. Every Jesuit studies the life-story of Ignatius through The First Jesuit by Mary Purcell or Autobiography in the Novitiate. I did the same. Therefore, on this joyful day dedicated to our founder, I would like to recite the story of St. Ignatius by heart briefly.

He used to be a page in the court of a local nobleman,
a valiant soldier,
a man given over to the vanities of the world,
a ladies ‘man,
a definitely rake,
and even it was rumored that he fathered an illegitimate child,
but he could feel that God had all along been loving him.
Then, he became a loved sinner and a sinner yet called for the service of God.

(July 31, 2014)
A loved sinner

Sebagai salah seorang pendiri Serikat Yesus, Ignatius menekankan pentingnya ketaatan dan kesepahaman dengan Gereja sebagai Ibu Serikat. Prinsip itu ditaati dengan sungguh oleh para Yesuit dan terutama ketaatan kepada Bapa Suci sebagai wakil Kristus di dunia seperti yang dialami oleh Pedro Arrupe. Sebagai Jenderal Serikat Yesus ke-28 (1965-1983) yang hendak mengungkapkan pemikirannya untuk mewartakan iman dan menegakkan keadilan di antara orang kecil, ia justru diperlakukan secara tidak adil, disalahpahami dan bahkan dimusuhi oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II. Pemikirannya muncul dari pengalamannya sebagai Magister Novis di Jepang yang situasinya genting akibat penjatuhan dua buah bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Tanpa alasan yang kurang dapat dipahami, Bapa Suci menentang pemikiran Pedro. Akan tetapi, Pedro tidak terbersit sebuah keinginan untuk tidak menaati Bapa Suci. Bahkan dengan otoritasnya sebagai pemimpin umum Serikat Yesus, ia meminta semua Yesuit menaati setiap hal yang diperintahkan tahta suci.
Hidup para kudus sangat menyentuh James Martin untuk meneladan cara mereka mengabdi sang Pencipta. Setiap orang kudus memiliki kisah yang unik dan Tuhan memperkenalkan sosok para kudus kepadanya secara unik pula. Pada akhirnya, terjawablah pertanyaan James Martin pada waktu di Novisiat yakni tentang mengapa kita membutuhkan perantaraan para kudus walaupun sebenarnya Tuhan sendiri selalu mendengarkan doa-doa kita. Jawabannya adalah karena Tuhan ingin menjadikan para kudus sebagai representasi-Nya yang nyata perihal keteladanan hidup suci di dunia. Selanjutnya, James Martin mengajak para pembaca untuk memanggil kembali pengalaman-pengalaman awal bagaimana Tuhan memperkenalkan sosok para kudus sebagai suri teladan hidup kesucian terhadap kita.

Dipanggil untuk Menjadi Kudus (Kesimpulan dan Refleksi)
Buku ini  ditutup dengan sebuah kesimpulan bahwa setiap orang dipanggil untuk menjadi kudus dengan caranya masing-masing. Jadi, tidak ada cara yang sama dan yang berlaku secara umum untuk semua orang. Hal ini semakin mengkonfirmasi kekaguman James Martin terhadap Thomas Merton bahwa setiap orang dibanggil untuk menjadi kudus secara unik dan menjadi seorang kudus juga berarti menjadi diri sendiri. Akan tetapi, baik kiranya jika kita senantisa belajar dari hidup para kudus yang sudah ada sebelum kita, yang menjadi model hidup dan sahabat kita.
Dengan membaca buku ini, saya secara personal semakin terdorong untuk menghidupi kesucian dengan cara yang saya yakini sebagai sebuah panggilan Tuhan. Bacaan ini sangat membantu saya juga dalam menghayati hidup ke-Yesuitan terutama dalam hal menghidupi kontemplasi dalam aksi. Hal lain yang saya syukuri dari membaca buku ini adalah dalam tugas ad extra saya di Promosi Panggilan Serikat Yesus wilayah Jakarta. Pengenalan semangat hidup ke-Yesuitan yang saya ajarkan kepada para peserta Promosi Panggilan semakin diperkaya dengan pendalaman karisma Serikat Yesus (Formula Institusi dan Konstitusi) dan karisma Ignatian (Latihan Rohani).   

Referensi:
Martin, James. My Life with the Saints.
Antonius Siwi, “St. Ignatius of Loyola: A Sinner yet Called”, 2014, <https://www.facebook.com/notes/antonius-siwi-dharma-jati/st-ignatius-of-loyola-a-sinner-yet-called/10152289260882104>.




[1] Antonius Siwi, “St. Ignatius of Loyola: A Sinner yet Called”, 2014, <https://www.facebook.com/notes/antonius-siwi-dharma-jati/st-ignatius-of-loyola-a-sinner-yet-called/10152289260882104>.

Commentaires

Articles les plus consultés