Mendalami Rahmat yang Tepat bagi Serikat Yesus berdasarkan Refleksi Jerónimo Nadal
Mendalami
Rahmat yang Tepat bagi Serikat Yesus
berdasarkan
Refleksi Jerónimo Nadal
A.
Pengantar
Studi Spiritualitas yang diselenggarakan oleh Komunitas
Kolese Hermanum tahun 2017 ini mengambil tema “Kontemplasi dalam Aksi” dengan
buku Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo Nadal's Phrase
“Contemplative Likewise in Action” karangan Joseph F. Conwell, SJ sebagai
bahan utama. Secara umum, buku ini memaparkan refleksi Jerónimo Nadal terhadap
kehidupan Serikat Yesus (SJ) dan anggotanya. Buku ini tidak hanya berisi informasi
atau kumpulan aturan-aturan seperti Examen
Generale dan Konstitusi, melainkan ajakan bagi kita – para Yesuit - untuk
melihat kembali pengalaman-pengalaman kita sebagai anggota SJ dan selanjutnya
merefleksikannya.
Secara khusus, pada bab II yang berjudul “Grace Proper to
the Society of Jesus”, dipaparkan refleksi Nadal mengenai rahmat yang tepat
bagi SJ sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Ignatius. Rahmat ini disebut sebagai
karisma SJ yang bersinggungan langsung dengan cara bertindak SJ dan yang
membedakannya dari kelompok religius lain yang sudah ada sebelumnya. Seperti
yang ditegaskan dalam Kongregasi Jenderal ke-34, dekrit 2, karisma ini pula lah
yang membuat SJ mampu membantu Gereja menjalankan misinya hingga saat ini.
Mengapa Nadal berbicara tentang rahmat yang tepat bagi SJ?
Jawabannya adalah karena terjadi persoalan berkaitan dengan kehidupan para
Yesuit saat itu yang menginterpretasikan rahmat yang dimiliki SJ secara tidak
tepat dalam arti tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi. Salah
satu contohnya, sebagaimana yang akan dibahas secara lebih detail dalam makalah ini, adalah kasus di Coimbra, Portugal. Karena
ada kasus tersebut, Ignatius mengutus Nadal untuk memberikan Ekshortasi kepada
para Yesuit di Spanyol dengan tujuan untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya dimaksudkan
Ignatius dengan rahmat yang tepat bagi SJ sehingga kasus yang sama tidak terulang lagi.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan gagasan utama Joseph
F. Conwell, SJ dalam bab II “Grace Proper to the Society of Jesus”, buku Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo Nadal's Phrase
“Contemplative Likewise in Action”. Pembahasan akan dimulai dengan
penggambaran latar belakang sejarah ketika Nadal diutus untuk memberikan
Ekshortasi dan situasi krisis
di Coimbra. Selanjutnya, masuk ke pembahasan utama, yakni refleksi Nadal mengenai
rahmat yang tepat bagi SJ dalam kelima
Ekshortasinya. Makalah ini akan ditutup dengan kesimpulan dan relevansi bagi
kita – para Yesuit - yang sedang berjuang untuk menghidupi Karisma SJ di zaman
ini.
B.
Latar Belakang Sejarah
Tahun 1547-an dapat dikatakan sebagai
periode emas SJ sebagai ordo religius yang baru saja didirikan. Jumlah anggota SJ
saat itu berkembang pesat hingga mencapai ratusan. Seiring dengan bertambahnya
jumlah anggota, SJ juga mendirikan beberapa sekolah di berbagai kota seperti di
Paris (1540), Leuven (1542), Valencia (1544) dan Alcalá (1545). Enam tahun
kemudian, para Yesuit sudah tersebar hingga ke Melaka, Maluku, Sisilia, Kongo,
Brasil, Austria dan Jepang. Selain itu, perkembangan SJ juga ditandai dengan
dibukanya kolese-kolese Yesuit di Gandhia, Salamanca, Barcelona, Valladolid, Padua dan Bologna.[1]
Pada
tahun 1553, Ignatius mengutus Nadal ke Spanyol yang pada waktu itu sedang dalam
situasi tegang karena di sana ada para inkuisisi yang dengan ketat menjaga
supaya para kaum heretik tidak masuk ke pusat kota.[2] Selain
di Spanyol, para inkuisisi juga ada di Portugal. Keberadaan para inkuisisi di
Portugal sempat membuat Nadal dicurigai karena mereka menemukan salinan Konstitusi
yang dikirimkan Ignatius. Salinan Konstitusi tersebut sempat dicurigai sebagai
dokumen yang berisi ajaran sesat yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja.[3]
Dari
penggambaran situasi tersebut, tampak bahwa Ignatius dan para sahabatnya
berjuang keras menghadapi
tantangan dari pihak luar, salah satunya dari kaum inkuisisi. Hal ini sudah cukup
melelahkan. Ditambah lagi, dari sisi internal SJ sendiri masih ada persoalan
lain yang juga sulit untuk diatasi, yakni masalah cara bertindak dan sikap para
Yesuit yang tidak tepat. Salah satu contoh yang dapat disoroti adalah masalah di
Coimbra.
C.
Krisis di Portugal
Di
antara para Primi Patres, Simão Rodrigues adalah
satu-satunya orang Portugal. Oleh sebab itu, ia menjadi pilihan pertama
Ignatius untuk menjalankan misi Portugal di India. Dengan kata lain, Ignatius ingin supaya Rodrigues
berangkat ke India sebagai misionaris. Akan tetapi, Rodrigues telanjur memiliki relasi yang sangat dekat
dengan para bangsawan Portugal. Raja Portugal bahkan sangat terpesona dengan
gagasan dan metode yang diterapkan Rodrigues dalam memimpin dan membangun sekolah di Portugal. Itulah
sebabnya, Raja meminta Rodrigues untuk tetap tinggal di Portugal dan mengizinkannya membangun
kolese[4] di
Coimbra. Kedekatan hubungan antara Raja dengan Rodrigues menjadi pekerjaan
rumah yang berat bagi Ignatius. Ignatius pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengutus Rodrigues ke
India. Ia meminta
sahabat yang paling dikasihinya, yakni Fransiskus Xaverius untuk menggantikan
Rodrigues menjalankan misi ke India.[5]
Permasalahan
di Coimbra ini termasuk persoalan yang serius. Rodrigues yang menjadi pembesar
di Portugal saat itu bersikap
keras kepala dan tidak taat pada Ignatius.
Ia merasa lebih tahu
mengenai segala hal yang ada dalam kehidupan komunitasnya di Coimbra dibandingkan
Ignatius. Lebih parah
lagi, para
Yesuit di Coimbra yang dipimpin oleh Rodrigues menerapkan segala aturan kehidupan
monastik secara radikal seperti berpantang dan bermati raga. Hal itu membuat kehidupan
komunitas Coimbra menjadi kacau karena membuat para Yesuit – terutama
Rodrigues - menjadi
tidak taat dan tidak siap sedia diutus.[6] Kondisi
krisis dalam komunitas Coimbra inilah yang menjadi titik tolak bagi Ignatius
untuk meminta Nadal mengingatkan kembali para Yesuit terkait dengan rahmat yang
tepat bagi SJ sesuai dengan yang dimaksud Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi. Oleh sebab itu, pada tahun 1554,
Nadal berangkat ke Spanyol untuk memberikan Ekshortasi. Ada lima pokok penting
dalam Ekshortasi yang disampaikan Nadal kepada para Yesuit di Spanyol. Pada
bagian berikutnya, akan dipaparkan kelima pokok Ekshortasi tersebut.
D. Ekshortasi
I: Serikat Yesus Ada dalam Tegangan
Dalam
Ekshortasi yang pertama di Spanyol, Nadal menguraikan satu poin penting yang
membedakan SJ dengan kelompok religius lainnya dengan mengacu pada Examen Generale dan Konstitusi.
Masing-masing kelompok religius memiliki perannya sendiri dalam melayani umat
Allah di dalam Gereja-Nya. Peran tersebut lah yang kemudian membentuk cara
hidup masing-masing kelompok religius. Cara hidup monastik, sebagaimana dikatakan
Nadal sebagai salah satu rahmat, juga merupakan suatu cara hidup dalam kelompok
religius tertentu, misalnya Ordo Sancti
Benedicti (OSB) dan Ordo
Cisterciensis Strictioris Observantiae
(OCSO). Memang dalam aturan yang mereka buat, seperti itulah cara hidupnya
- monastik. Akan tetapi, monastik bukanlah cara hidup SJ. Nadal menegaskan
dalam Ekshortasinya ini bahwa SJ bukanlah Serikat yang monastik dan tidak
seharusnya diatur oleh norma-norma monastik. Oleh sebab itu, apa yang
dilakukan oleh para Yesuit di Coimbra jelas keliru, karena mereka menerapkan
hidup monastik yang radikal.[7]
Refleksi Nadal yang
mengacu pada Examen Generale dan
Konstitusi ini dimaksudkan supaya para Yesuit semakin paham cara bertindak
Serikat. Artinya, di dalam SJ, terdapat aturan yang telah ditulis oleh Ignatius
sendiri dalam Examen Generale dan
Konstitusi. Aturan tersebut bukanlah aturan monastik melainkan aturan yang sifatnya
rasuli. Examen Generale dan
Konstitusi tidak lain merupakan lanjutan dari misteri inkarnasi sebagaimana
yang disebutkan Ignatius dalam Latihan Rohani 101-109. Secara tidak langsung, Nadal
ingin menegaskan bahwa SJ berpartisipasi dalam karya perutusan Allah di dunia
dan bukan hanya meratapi dan merenungkan dunia di dalam biara (kehidupan
monastik).[8]
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa
sesungguhnya refleksi Nadal ini dimaksudkan untuk
mengajak para Yesuit sadar akan tugas perutusannya yang bukan
bersifat monastik dan tertutup dengan dunia luar. Nadal mengingatkan para Yesuit bahwa kehidupan manusia
itu selalu dalam tegangan, demikian pula kehidupan para Yesuit – mengabdikan
diri pada pelayanan duniawi dan juga kepada Allah. Pola hidup dan cara
bertindak yang seperti inilah yang dirasakan sebagai rahmat khusus yang
diberikan Allah kepada SJ. Dengan kata lain, Nadal ingin menekankan bahwa
Yesuit tidak dipanggil sebagai seorang monastik, tetapi menghayati hidupnya
dalam pelayanan di dunia. Inilah rahmat panggilan Ke-Yesuit-an.[9]
Poin
penting Ekshortasi pertama Nadal di Spanyol tahun 1554 adalah kritiknya
terhadap praktik hidup monastik yang diterapkan oleh para Yesuit di Coimbra. Ia
mencoba menegaskan apa yang dimaksud Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi tentang cara hidup Serikat yang
bukan monastik. Akan tetapi, apakah hal ini berarti bahwa Nadal menghendaki
semua Yesuit untuk aktif dan sama sekali menghiraukan aspek kontemplatif?
Untuk memperluas
perspektif kita, marilah kita lihat kehidupan kita sebagai Yesuit pada zaman
ini. Pada zaman ini, memang permasalahan seperti yang terjadi di Coimbra ini
sangat jarang terjadi.[10] Justru yang lebih terjadi
adalah sebaliknya, yakni para Yesuit terlalu aktif dalam berkarya sehingga
aspek hidup doa ditinggalkan. Seandainya Nadal hidup pada zaman ini, kiranya ia
akan memberikan Ekshortasi yang bertujuan untuk mendorong para Yesuit untuk
memperhatikan hidup doa yang cenderung dinomorduakan, seperti halnya Bapa Suci
Paus Fransiskus beberapa tahun yang lalu mengingatkan bahwa para Yesuit perlu
berdoa lagi. Memang dalam konteks zaman ini, para Yesuit lebih sering jatuh
pada tindakan mengabaikan hidup doa dalam arti meluangkan waktu secara khusus
untuk menjamin relasi dengan Allah. Barangkali, dengan nada satir, kita dapat
mengatakan bahwa cara bertindak Serikat yang aktif “sangat dihayati” oleh
Yesuit masa kini, sehingga seringkali kehidupan karya kita di dunia dijadikan
yustifikasi untuk membenarkan tindakan meninggalkan doa.
Perlu diingat bahwa dalam
Ekshortasi pertama, Nadal menekankan unsur kehidupan Yesuit yang selalu berada
dalam tegangan. Perbedaan situasi yang terjadi tahun 1554 dan saat ini - tahun
2017 harus dipandang secara lebih luas. Maksud dari berada dalam tegangan
adalah tidak jatuh pada salah satu ekstrem. Dengan kata lain, terlalu monastik
– seperti yang terjadi di Coimbra – adalah keliru dan terlalu aktif – seperti
yang terjadi di kehidupan Yesuit zaman ini juga keliru. Dalam hal ini,
menerapkan prinsip “jalan tengah” adalah yang paling tepat sesuai dengan yang
dimaksud Ignatius dalam Examen Generale dan
Konstitusi.
E. Ekshortasi
II: Serikat yang Paling Hina
Examen Generale membahas tentang
pemeriksaan serta informasi yang penting diketahui berkaitan dengan para
kandidat atau mereka yang ingin diterima dalam SJ. Examen Generale dibuka dengan frasa
“Serikat yang Paling Hina”. Dalam Ekshortasi kedua, Nadal memberikan penekanan
pada frasa “Serikat yang Paling Hina” ini. Penekanan ini dimaksudkan supaya menyadarkan
para Yesuit untuk
selalu bersikap rendah hati sebagai konsekuensi masuk ke dalam Serikat yang
hina.[11]
Meskipun
dalam realitas ungkapan “Serikat yang Paling Hina” ini memungkiri persepsi
umum, ungkapan ini sesungguhnya mengacu pada “The Heart of the Jesuit Ideal” yakni hidup untuk mencapai Kerendahan
Hati Tingkat III yang terungkap dalam Latihan Rohani 167.[12] Hal ini
tampak dalam pemilihan nama Serikat Yesus. Nama Serikat Yesus sesungguhnya
adalah proses pengosongan diri atau kénōsis (κένωσις) dari misteri inkarnasi. Oleh sebab itu, dalam Kongregasi Jendral ke-32,
dekret 2 mengenai Pelayan Perutusan Kristus (secara khusus pada mereka yang
miskin), Serikat masuk ke dalam pergumulan itu dan memposisikan diri sebagai
pelayan. Menjadi pelayan berarti melayani yang miskin, memperjuangkan keadilan,
terbuka terhadap kultur yang beragam, berkolaborasi dalam pelayanan dan saling
mendengarkan serta berdialog dengan tradisi lainnya.[13]
Berkaitan dengan sikap kerendahan
hati yang ditekankan Nadal dalam Ekshortasi kedua ini, baik juga kiranya jika
kita mencoba merefleksikan kehidupan kita saat ini. Sama halnya dengan
menghidupi tegangan – poin penting dalam Ekshortasi pertama, menghidupi
kerendahan hati juga menjadi tantangan bagi kita saat ini. Sudah menjadi
kebenaran umum bahwa seringkali kita dipandang sebagai kelompok religius yang
unggul dalam berbagai bidang. Orang lain di sekitar kita, termasuk yang kita
layani sangat menghormati dan mengagumi kita. Hal ini sering membuat kita
terlena bahwa sebenarnya, kita dipanggil dalam “Serikat yang Paling Hina” dan
menjadi pelayan.
Ekstrem lain yang juga
mungkin terjadi terkait dengan kerendahan hati ini adalah tindakan menyangkal
diri secara radikal. Inilah yang terjadi
pada para Yesuit di Coimbra. Mereka tentunya memiliki maksud baik untuk
mengosongkan diri, tetapi cara yang ditempuh keliru. Persis cara mengosongkan
diri dengan tindakan menyangkal diri secara radikal, seperti bermati raga
berlebihan, bagi para Yesuit bukanlah yang dikehendaki Ignatius karena cara
semacam ini tidak rasuli.
Berhadapan dengan dua ekstrem dalam
hal penghayatan sikap kerendahan hati, prinsip “jalan tengah” juga menjadi
pertimbangan terbaik. Menjadi rendah hati berarti menyadari diri sebagai
pelayan sekaligus tetap rasuli dalam bertindak. Para frater atau bruder Kolese
Hermanum yang memilih untuk tidak menggunakan alat komunikasi ketika sudah
masuk dalam kegiatan Ad-Extra, jelas
bukan sikap kerendahaan hati. Begitu pula, ketika para frater terlalu terlena
dengan pujian atau kehormatan yang diberikan orang lain karena pencapaian
tertentu, juga jelas bukan sikap kerendahan hati. Jika kita masih dapat
menggunakan istilah “tegangan”, maka dalam menghayati kerendahan hati tersebut,
kita juga berada dalam tegangan antara dua ekstrem yang mungkin terjadi.
F. Ekshortasi
III-V: Membiarkan Roh Membimbing dan Memberikan Kehidupan
Dalam Ekshortasi ketiga, Nadal
menegaskan bahwa penghayatan kaul-kaul Yesuit menciptakan keharmonisan yang
luar biasa dalam setiap talenta yang dimiliki. Untuk dapat menghidupi kaul-kaul
tersebut, dibutuhkan penambahan instrumen-instrumen Latihan Rohani seperti doa,
meditasi, Examen, Ekaristi
dan lain sebagainya yang menjadi sumber dari cara bertindak Serikat. Selain itu
dibutuhkan pula media untuk mengekskusinya sehingga dapat
terungkap dalam tindakan nyata. Pada akhirnya, para Yesuit menghidupi keutamaan
itu dan menjalankannya seperti dalam tindakan ketaatan, dalam berkotbah, dalam
berelasi dengan sesama dan lain-lain. Dalam hal ini, Nadal menghendaki supaya para Yesuit membiarkan roh
membimbing dan memberikan kehidupan.[14]
Dalam
Ekshortasi keempat, Nadal menggambarkan “Walking
in the Spirit” seperti hidup dalam kesederhanaan dan kejernihan (simplicity and clarity). Situasi yang demikian
inilah yang menjadi sumber harapan dan cita-cita Serikat. Di sini, Nadal
menegaskan bahwa di dalam Serikat, para Yesuit diutus bukan untuk menjalankan
apa yang dibutuhkan SJ
saja, melainkan lebih menegaskan patisipasi dalam proses pengosongan diri untuk
akhirnya dapat bersatu kembali dengan Yesus dan melanjutkan misi-Nya yang
diberikan kepada setiap Yesuit melalui Serikat ini.[15]
Dalam
Ekshortasi kelima, Nadal menguraikan tentang pelayan yang menderita (The Suffering Servant). Misi Yesus
Kristus di dunia akan membawa pada penderitaan dan bahkan kematian. Hal ini
dikatakan Nadal supaya diketahui oleh siapa pun yang berkehendak untuk diterima
dalam SJ. Itulah sebabnya, para kandidat yang ingin masuk ke dalam SJ harus
mengalami pencobaan supaya siap mengalami penderitaan dalam pelayanannya kelak.[16]
Setiap dari kita memiliki
talenta tertentu yang seringkali digunakan SJ untuk masuk lebih dalam dalam
tugas perutusan. Sebagai contoh, kita memiliki talenta dalam studi filsafat.
Selanjutnya, kita diutus untuk studi khusus filsafat dan kemudian menjalani
tugas perutusan sebagai tenaga pengajar filsafat. Dalam hal ini, yang patut menjadi
perhatian kita, terkait dengan refleksi Nadal dalam Ekshortasi ketiga, keempat
dan kelima, adalah bahwa dalam mengemban tugas perutusan, kita tidak hanya
sekadar menjadi apa yang dibutuhkan SJ atau Gereja saja, melainkan lebih dalam
lagi, kita diajak untuk berpartisipasi secara langsung bersama Kristus dengan
bimbingan Roh di dunia. Aspek pertisipasi dalam karya Kristus di dunia ini
seringkali kita lupakan ketika sudah mengemban tugas perutusan. Tanpa
mempertimbangkan aspek ini, kita tidak berbeda dengan orang lain yang juga
menekuni bidang seperti yang kita tekuni dalam tugas perutusan.
G.
Kesimpulan dan Relevansi
Dari seluruh pemaparan di atas, dapat disimpulkan
beberapa poin sebagai berikut. Pertama, Nadal berbicara tentang rahmat yang
tepat bagi SJ karena ada persoalan berkaitan dengan kehidupan para Yesuit saat
itu yang menginterpretasikan rahmat yang dimiliki SJ secara tidak tepat dalam
arti tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Ignatius dalam Examen Generale dan Konstitusi. Sebagai contoh, kasus di yang
terjadi pada para Yesuit di Coimbra, yang mana mereka menjalankan cara hidup
tidak rasuli yang membuat mereka tidak taat dan tidak siap sedia diutus.
Kedua, dalam Ekshortasi pertama, Nadal menegaskan bahwa SJ
memiliki caranya sendiri dalam menjalankan tugas perutusan Kristus di dunia,
yakni terlibat secara langsung dalam persoalan dunia dan tidak menjalankan praktik hidup
monastik. Hal ini seringkali membuat SJ selalu berada dalam tegangan antara mengabdikan
diri pada Allah dan dunia. Selanjutnya, dalam Ekshortasi kedua, Nadal
menegaskan maksud Ignatius dalam frasa “Serikat yang Paling Hina” dalam Examen Generale, yang memiliki
konsekuensi bahwa para Yesuit harus bersikap rendah hati dan menyadari panggilannya
sebagai pelayan.
Ketiga, dalam Ekshortasi ketiga, keempat dan kelima,
Nadal menegaskan pentingnya memegang semangat berpartisipasi dalam karya
perutusan Kristus di dunia dalam setiap tugas perutusan yang diemban. Dengan
kata lain, para Yesuit tidak hanya berkarya demi karya itu sendiri, melainkan
berkarya karena ingin terlibat bersama Kristus yang juga sedang berkarya. Dalam
hal ini, aspek partisipasi dalam karya Kristus di dunia tidak boleh
ditinggalkan.
Selanjutnya, apa relevansi yang dapat kita ambil sebagai bahan pembelajaran
berdasarkan refleksi Nadal ini? Nadal memang memberikan Ekshtortasi bagi para
Yesuit dalam situasi tertentu pada zaman itu – tahun 1554. Akan tetapi,
refleksi Nadal ini bersinggungan langsung dengan cara bertindak kita sebagai
Yesuit. Oleh sebab itu, refleksi Nadal ini tetap relevan untuk dihidupi oleh
para Yesuit pada zaman ini. Beberapa poin penting dalam setiap Ekshortasi Nadal
memiliki implikasi pada kehidupan real kita
saat ini. Kurang lebih ada tiga hal yang dapat kita jadikan pembelajaran.
Pertama, kita tidak seharusnya menjalankan praktik hidup monastik, tetapi juga
tidak melupakan dimensi rohani dalam arti meluangkan waktu untuk membangun
relasi dengan Allah dalam aktivitas kita. Kedua, kita diingatkan kembali untuk
bersikap rendah hati karena kita masuk ke dalam Serikat yang paling hina. Ketiga,
kita didorong untuk menghayati tugas perutusan kita sebagai tindakan
partisipasi dengan perutusan Kristus di dunia.
Daftar Pustaka
Conwell,
Joseph F. Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo
Nadal's Phrase “Contemplative Likewise in Action”. St. Louis: The Institute of Jesuit Sources, 2003.
Durant, Will. The Age of Faith. New York: MJF Books,
1950.
Loyola,
Ignatius. Latihan Rohani. Diterjemahkan oleh J. Darminta,
SJ. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Provinsi
Indonesia Serikat Yesus. Kongregasi
Jenderal 32 & 33 Serikat Yesus. Yogyakarta: Kanisius 1988.
Provinsi
Indonesia Serikat Yesus. Konstitusi
Serikat Yesus dan Norma Pelengkap. Yogyakarta: Kanisius 1998.
[1] Joseph F. Conwell, Walking in the Spirit: A Reflection on Jerónimo Nadal's Phrase “Contemplative
Likewise in Action”, (St.
Louis: The Institute of Jesuit Sources, 2003), hlm. 24.
[2] Will Durant, The Age of Faith, (New York: MJF Books,
1950), hlm. 784. “Making every allowance required of an historian and permitted
to a Christian, we must rank the Inquisition, along with the wars and
persecutions of our time as among the darkest blots on the record of mankind,
revealing a ferocity unknown in any beast.”
[4] “Kolese” yang
dimaksud di sini bukan mengacu pada sekolah, melainkan residen tempat tinggal
para skolastik yang sedang menempuh formasi. Bdk. Joseph
F.
Conwell, Walking in the Spirit, hlm. 25-26.
“The king started talking about a Jesuit college (residence) in Coimbra, a town
centrally located, where young Jesuits could live and attend the University of
Coimbra.
[10] Kasus terakhir
yang terjadi di Indonesia adalah dismisi P. Martinus Suhartono Sanjoyo dari
Serikat Yesus pada 8 September 2015 karena memutuskan menjadi Eremit Diosesan
Keuskupan Agung Semarang.
[12] LR 167: Kerendahan hati
III. Paling sempurna. Setelah kerendahan hati I dan II tercapai, asalkan sama
artinya bagi kehormatan dan kemuliaan Allah yang Mahaagung, supaya dapat
meneladan dan lebih menyerupai Kristus Tuhan kita dalam kenyataan, aku
menghendaki dan memilih kemiskinan bersama Kristus, yang miskin, melebihi
kekayaan; penghiburan bersama Kristus yang dihina, melebihi penghormatan; aku
memilih dianggap bodoh dan gila demi Kristus yang lebih dahulu dianggap begitu,
daripada dianggap pandai dan bijaksana di dunia ini.
Commentaires
Enregistrer un commentaire