Ambiguitas Hiburan Rohani
Ambiguitas Hiburan
Rohani
Oleh: Antonius Siwi Dharma Jati, SJ
Pengantar
Dalam Latihan Rohani, Ignatius Loyola memberikan dua macam pedoman
pembedaan roh. Pedoman Pembedaan Roh I[1] diberikan dalam Minggu Pertama, yakni
ketika orang berada dalam situasi rohani purgativa.[2] Tujuan dari Pembedaan Roh I ini adalah
supaya orang dapat merasa dan mengenali berbagai gerak yang timbul dalam jiwa
sehingga yang baik diterima dan yang buruk dibuang. Sedangkan untuk orang yang
sudah maju dalam hidup rohani (dalam situasi rohani illuminativa/Minggu Kedua),[3] Ignatius memberikan pedoman lebih lanjut,
yakni Pedoman Pembedaan Roh II[4] dengan tujuan supaya memahami gerak batin
yang timbul dalam jiwa dengan tujuan untuk dapat lebih jauh membedakan roh.[5] Pedoman Pembedaan Roh II tidak lagi fokus
pada membedakan antara hiburan dan kesepian rohani, tetapi lebih ke membedakan
hiburan rohani yang sejati dan yang palsu.[6]
Tulisan ini akan membahas ambiguitas hiburan rohani karena
hiburan rohani dapat bersifat sejati yang berasal dari Allah dan juga palsu
yang merupakan tipuan roh jahat. Selain itu, akan dibahas pula cara mengidentifikasi
asal hiburan rohani sehingga dapat membantu kita memutuskan tindakan ke arah
yang baik dalam hidup sehari-hari.
Hiburan
Rohani dengan Sebab
Sebelum membahas ambiguitas hiburan rohani, terlebih dahulu
akan dipaparkan pemahaman tentang hiburan rohani dengan sebab (spiritual consolation with preceding
cause). Dalam Pedoman Pembedaan Roh II[7], Ignatius mengatakan bahwa hanya Allah
sendirilah yang dapat memberi hiburan kepada jiwa-jiwa tanpa sebab-sebab
sebelumnya. Dengan kata lain, hiburan rohani semacam ini selalu berasal dari
Allah, sehingga kita tidak perlu ragu lagi untuk menyambut dan mengikutinya.
Lalu bagaimana dengan pengalaman hiburan rohani dengan sebab-sebab
sebelumnya? Berbeda dengan hiburan rohani tanpa sebab yang selalu berasal dari
Allah, hiburan rohani dengan sebab harus dicermati kembali dengan teliti. Ignatius
mengidentifikasi bahwa hiburan rohani semacam ini dapat murni berasal dari
Allah, tetapi juga dapat berasal dari roh jahat yang menyamar dalam bentuk roh
baik. Oleh sebab itu, proses discernment
sangat penting untuk dilakukan dalam situasi hiburan rohani dengan sebab.[8]
Ambiguitas
Hiburan Rohani
Hiburan rohani dalam Minggu Kedua tidak sama dengan dalam
Minggu Pertama yang oleh Ignatius dikatakan selalu berasal dari Allah. Jika ada
sebab-sebab sebelumnya, hiburan rohani dapat juga berasal dari roh baik ataupun
roh jahat. Inilah yang dimaksud dengan ambiguitas hiburan rohani. Untuk dapat lebih
memahami ambiguitas hiburan rohani, ada beberapa contoh kasus yang kiranya
dapat mengilustrasikan peran roh baik dan roh jahat dalam pengalaman hiburan
rohani.[9]
Kasus pertama, suatu kali pada perayaan ekaristi hari Minggu,
seorang frater SJ mendengarkan Injil Matius 25:35-36[10] dan tiba-tiba ia mengalami hiburan rohani
dan hatinya tergerak untuk melayani para pengungsi Suriah yang ada di Eropa.
Kemudian, frater tersebut dengan dorongan pelayanan sosial yang kuat mohon izin
kepada Superior untuk pergi ke Eropa dan membantu mengurus para pengungsi
Suriah. Kasus kedua, seorang Romo Paroki
setelah berkarya mengembangkan keterlibatan Orang Muda Katolik (OMK) di paroki
tempat ia berkarya, merasakan hiburan rohani. Dalam waktu hiburan rohani
tersebut, ia merasa ada panggilan untuk mengabdikan seluruh tenaga bagi
orang-orang muda di paroki.
Dari dua contoh kasus tersebut, kita dapat mengidentifikasi bahwa
hiburan rohani yang dialami oleh frater SJ atau Romo Paroki adalah hiburan
rohani dengan sebab. Ada suatu obyek rohani yang menjadi “sebab” dari hiburan
rohani yang dialami kedua orang tersebut. Obyek rohani itu adalah Injil yang didengarkan
ketika merayakan ekaristi dan keterlibatan dalam pengembangan OMK Paroki. Dari
obyek rohani tersebut, mereka merasakan dorongan untuk berbuat baik, yakni
melayani para pengungsi dan mengerahkan seluruh tenaga untuk OMK.
Sebuah pertanyaan yang dapat kita ajukan, yakni apakah dorongan
untuk melayani para pengungsi dan juga kehendak untuk mengerahkan tenaga untuk
OMK itu murni dari Allah? Bagaimana orang yang bersangkutan dapat mengetahui
bahwa hiburan rohani dan dorongan-dorongan untuk berbuat baik tersebut murni
berasal dari Allah? Dalam hal ini, Ignatius cukup skeptic terhadap pengalaman
hiburan rohani dan ia mengajak untuk meneliti lebih jauh asal-usul setiap
hiburan rohani (dengan sebab) yang dialami dengan discernment.
Dua Macam
Hiburan Rohani yang Berlawanan
Pada bagian ini, kita akan melihat dua macam pengalaman hiburan
rohani yang berlawanan. Unsur perlawanannya terletak dalam hal tujuan akhirnya
dari hiburan rohani.
Seorang perempuan berusia 37 tahun bernama Elizabeth Leseur mendeskripsikan
salah satu pengalamannya yang tidak terlupakan ketika ia dan suaminya berdoa di
Gereja St. Petrus, Roma. Ia menuliskan kisahnya demikian:
Sendiri aku berjalan ke Gereja St. Petrus,
dan setelah mengaku dosa pada seorang imam berbahasa Prancis, aku menerima
komuni di kapel Sakramen Maha Kudus. Saat itu aku sungguh bahagia. Kurasakan
batinku dipenuhi “rasa” kehadiran Kristus, Allah sendiri, yang memberiku cinta
yang tak terkatakan; Jiwa-Nya berbicara kepada jiwaku, dan seluruh kelembutan
Sang Penyelamat merasuki diriku beberapa saat. Tak mungkin jejak ilahi ini
terhapuskan. Kristus yang mulia, Sabda Kekal, Dia yang sebagai manusia
menderita dan dicintai, satu-satunya Allah yang hidup, menguasai jiwaku dalam
keabadian pada saat tak terlupakan itu. Kurasa diriku dibarui secara mendalam
oleh-Nya, siap untuk hidup baru, untuk segala tugas, untuk karya yang
dikehendaki Penyelenggaraan-Nya. Kupersembahkan diriku tanpa syarat dan
kuserahkan masa depanku
Kudengar Misa berlangsung di kapel lain
dengan penuh sukacita dan damai. Aku berdoa lagi, dan kemudian berlutut di
samping ruang pengakuan dengan penuh kedekatan dan persembahan diri. Saat
pulang kurasakan suasana batin ironi, penuh kritik dan tak peduli di sekitarku.
Tetapi itu semua tak berarti; api Kristus masih membara dalam hatiku.
Ketika Ignatius di Manresa (1522-1523), ia melakukan berbagai
macam tindakan konkret laku tapa dan doa. Dalam otobiografinya yang ia diktekan
kepada Luis Gonçalves da Câmara, ia mengisahkan demikian:
Apabila
pergi tidur, ia sering mendapat pemikiran yang hebat, hiburan rohani yang
besar. Karena itu, ia kehilangan banyak waktu yang sebetulnya untuk tidur, yang
memang sudah tidak banyak. Ketika
memikirkan kembali hal itu beberapa kali, ia merasakan bahwa sudah banyak waktu
untuk bercakap-cakap dengan Allah. Dan masih ada seluruh hari. Maka, ia mulai
sangsi apakah penerangan itu datang dari roh yang baik. Akhirnya, ia sampai
pada kesimpulan bahwa lebih baik meninggalkan pikiran itu dan mempergunakan
waktu yang telah ditetapkan untuk tidur; dan ia berbuat demikian.[13]
Jika dua macam pengalaman tersebut ditempatkan bersebelahan,
tampak ada perbedaan. Pengalaman hiburan rohani Elizabeth sulit diragukan kalau
itu berasal dari Allah dan ia pun mengikutinya. Semua pengalamannya penuh
“rasa” Allah hadir, dan kesejatian hiburan rohani itu diteguhkan dengan buahnya,
“Kurasa diriku dibarui secara mendalam
oleh-Nya, siap untuk hidup baru, untuk segala tugas, untuk karya yang
dikehendaki Penyelenggaraan-Nya.” Hiburan Rohani semacam ini menguatkan
Elizabeth untuk tetap mencintai-Nya meskipun dalam suasana yang tidak
bersahabat, “Saat pulang kurasakan
suasana batin ironi, penuh kritik, dan tak peduli di sekitarku. Tetapi itu
semua tak berarti; api Kristus masih membara dalam hatiku.”[14]
Sedangkan, dalam pengalaman hiburan rohani Ignatius di Manresa,
“rasa” Allah hadir itu menjadi bahaya jika tidak ditolak. Kehilangan waktu
istirahat akan perlahan-lahan menghancurkan tubuh Ignatius sehingga ia tidak
akan dapat lagi memikirkan hal-hal rohani. Selama di Manresa Ignatius memang
melakukan matiraga yang berlebihan, sehingga tubuhnya rusak. Ignatius memang tidak
ragu dengan sifat hiburan rohani ini, bahkan ia menyebutnya sebagai “hiburan rohani yang besar”. Akan tetapi,
ia ragu “apakah iluminasi yang ia alami
sebagai hiburan rohani itu datang dari roh yang baik” dan pada akhirnya ia menyimpulkan
hiburan rohani itu bukan dari roh baik.[15]
“Rasa” dan sifat hiburan rohani mirip tetapi tujuannya berbeda.
Pada Elizabeth, hiburan rohani yang ia alami dapat menumbuhkan iman, harapan
dan kasih kepada Allah, sedangkan pada Ignatius, hiburan rohani tersebut dapat merusak
tubuhnya.
Hiburan Rohani yang Sama dengan Tujuan
yang Berlawanan
Dalam Pedoman Pembedaan Roh II (3)[16], Ignatius mengatakan, “Bila ada sebab, maka hiburan dapat datang
dari malaikat[17] baik maupun
malaikat jahat. Tetapi tujuannya berlawanan. Malaikat baik menghibur bertujuan
demi kemajuan jiwa, supaya berkembang dan meningkat dari taraf baik kepada yang
lebih baik. Malaikat jahat menghibur bertujuan sebaliknya, yaitu: untuk
selanjutnya menyeret jiwa ke arah maksud jahat serta kedurhakaannya.”
Dalam hal ini, Ignatius menjelaskan asal-usul dan tujuan yang
berlawanan dari hiburan rohani. Ketika hiburan rohani dengan sebab diterima,
hal itu dapat berasal dari roh baik ataupun roh jahat. “Rasa” hiburan rohani baik
yang berasal dari roh baik maupun roh jahat itu sama. Keduanya memberikan
dorongan yang besar untuk melakukan kebaikan. Akan tetapi, kita perlu cermat
dalam membedakannya, terutama dalam melihat tujuan akhir ke mana kita akan
dibawa.[18]
Cara membedakan yang paling baik adalah dengan melihat tujuan
akhirnya. Jika hiburan rohani serta dorongan-dorongan yang muncul itu membantu
kemajuan jiwa supaya berkembang dari yang baik ke lebih baik, dapat dipastikan itu
berasal dari roh baik. Kita sudah cukup familiar dengan hiburan rohani yang
berasal dari roh baik. Dalam Pedoman Pembedaan Roh I (2 dan 5)[19], disebutkan ciri utama roh baik ialah
demi kemajuan jiwa. Ciri roh baik ini tetap berlaku dalam Pedoman Pembedaan Roh
II. Hal yang sekiranya baru dalam pembedaan roh ini ialah bahwa roh jahat juga
memberikan hiburan rohani. Dengan demikian, secara sekilas tampak ada perbedaan
dengan pembedaan roh sebelumnya di mana roh jahat disebutkan hanya memberikan
kesepian rohani yang menyeret orang ke arah hilangnya iman, harapan dan kasih,
seakan-akan kita terpisah dari Allah.[20]
Roh jahat dapat memberikan hiburan
rohani, misalnya dalam bentuk kegembiraan dalam hal-hal rohani, pikiran-pikiran
yang baik dan suci. Hiburan rohani dari roh jahat akan sering dijumpai oleh
orang dalam Minggu Kedua. Dalam Minggu Pertama, sebuah hiburan rohani sudah jelas
jika berasal dari Allah dan harus disambut serta diikuti. Dalam hiburan rohani
Minggu Kedua, hal ini tidak pasti berasal dari Allah. Pedoman Pembedaan Roh II,
3, mengklarifikasi, hiburan rohani dapat berasal baik dari roh baik maupun roh
jahat. Dalam hiburan rohani Minggu Kedua, setelah pengalaman diidentifikasi
sebagai hiburan rohani dengan sebab-sebab sebelumnya, discernment lebih lanjut tetap sangat diperlukan. Ignatius
mengidentifikasi bahwa tidak ada perbedaan “rasa” antara hiburan rohani dari
roh baik dan dari roh jahat. Keduanya sama-sama menghibur jiwa. Discernment dalam membedakan hiburan rohani
dari roh baik dan roh jahat tidak dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
perbedaan intrinsik atau perbedaan “rasa” hiburan rohani. Seperti halnya dalam
pengalaman Ignatius di Manresa, ia tidak meragukan bahwa sedang mengalami
hiburan rohani. Hiburan rohani yang akhirnya ia sadari berasal dari roh jahat
memiliki “rasa” yang sama dengan pengalaman lainnya ketika ia medapatkan
hiburan rohani sejati dari Allah. [21]
Cara membedakannya bukan dengan mengidentifikasi perbedaan
“rasa” tetapi dari sesuatu yang eksternal. Ignatius secara singkat menyebut
dalam Pedoman Pembedaan Roh II, 3, kata “untuk selanjutnya” menyeret jiwa ke arah
maksud jahat serta kedurhakaannya. Kata “untuk selanjutnya” ini dijelaskan
secara lebih detail dalam Pedoman Pembedaam Roh II (4-6). Oleh sebab itu, kita
perlu melihat tujuan akhir yang disasar oleh hiburan rohani yang dialami. Jika
itu membantu semakin memajukan jiwa, maka itu berasal dari roh baik, tetapi
jika “untuk selanjutnya”, menggiring jiwa ke arah kedurhakaan, maka itu berasal
dari roh jahat.[22]
Penutup
Pedoman Pembedaan Roh II, 3, menjelaskan mengapa orang perlu
mendiskresikan secara cermat setiap pengalaman hiburan rohani dengan sebab yang
mendahului. Hal itu disebabkan pengalaman hiburan rohani dapat berasal dari roh
baik atau roh jahat. Dalam konteks hiburan rohani dengan sebab yang dialami
oleh orang dalam Minggu Kedua, baik roh jahat maupun roh baik dapat memberikan
pikiran dan kerinduan yang baik dan suci. Hiburan rohani yang berasal dari roh
jahat juga memberikan “rasa” yang sama dengan hiburan rohani dari roh baik,
yakni mendorong untuk melakukan kebaikan. Oleh sebab itu, Ignatius mengajak
untuk cermat dan peka dalam membedakan roh macam apa yang bekerja melalui
hiburan rohani. Cara membedakannya bukan dengan melihat unsur intrinsik, yakni
melihat perbedaan “rasa”, melainkan dengan melihat unsur eksternal, yakni
melihat tujuan akhir hiburan rohani tersebut.
Daftar
Pustaka
Conroy, Maureen. The Discerning Heart Discovering a Personal God. Chicago: Loyola
Press. 1993.
Gallagher, Timothy M. Spiritual Consolation: An Ignatian Guide for
the Greater Discernment of Spirits. New York: The Crossroad Publishing
Company. 2005.
Gonçalves da Câmara,
Luis. Wasiat
& Petuah St. Ignatius. Yogyakarta:
Kanisius. 1996.
Ignatius Loyola. Latihan Rohani. Terjemahan oleh J. Darminta, SJ. Yogyakarta:
Kanisius. 1993.
[2] Maureen
Conroy, The Discerning Heart Discovering
a Personal God, (Chicago: Loyola Press, 1993), hlm. 43.
[3] Maureen Conroy, The Discerning Heart Discovering a Personal
God, Chicago: Loyola Press, 1993, hlm. 43.
[6] Timothy
M. Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, New York: The
Crossroad Publishing Company, 2005, hlm
57.
[8]Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 57.
[9] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 57-58.
[10]
“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi
Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku
telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika
Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”
[11] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 58.
[12] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 59.
[14] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 61.
[15] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 62.
[18] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 62.
[20] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 62.
[21] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 62.
[22] Timothy M.
Gallagher, Spiritual Consolation: An
Ignatian Guide for the Greater Discernment of Spirits, hlm. 62.
Commentaires
Enregistrer un commentaire