Wayang dan Prinsip Keselarasan dalam Kebudayaan Jawa
Wayang dan Prinsip Keselarasan
dalam Kebudayaan Jawa
A.
Pengantar
Masyarakat Jawa memiliki
kebudayaan yang tinggi dan luhur. Keluhuran budaya tersebut terwujud dalam
bahasa, ajaran dan kesenian. Salah satu jenis kesenian dalam kebudayaan Jawa
ialah seni pertunjukkan wayang. Ada berbagai macam jenis wayang, seperti wayang
kulit purwa[1],
wayang orang[2],
wayang golek[3],
wayang beber[4],
wayang krucil[5],
dll.[6] Keberadaan wayang dalam budaya Jawa bukan
hanya sebagai bentuk kesenian atau hiburan tetapi juga merepresentasikan
prinsip keselarasan yang dihidupi serta senantiasa menjadi cita-cita masyarakat
Jawa.
Wayang berasal dari kata bayang-bayang atau gambaran. Kata
bayang-bayang atau gambaran yang dimaksudkan adalah gambaran manusia dalam
hidup dan kehidupan. Wayang yang dalam arti gambaran hidup manusia juga bisa
disebut lambang kehidupan manusia terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta
dan Tuhan Sang Pencipta. Pada dasarnya, cerita-cerita wayang yang terdiri
dari beraneka
ragam jenis dapat dipersempit menjadi dua cerita pokok, yaitu
Ramayana dan Mahabarata. Cerita Ramayana mengisahkan Rama dan Rahwana yang terdiri dari
beberapa cerita dan lakon, misalnya: Sinta Obong[7]. Sedangkan,
Mahabarata menceritakan keluarga Pandawa dan Kurawa yang berakhir dengan
peperangan kedua keluarga tersebut dalam lakon Baratayuda.
Cerita-cerita dalam dunia pewayangan memiliki sejarah yang cukup
panjang sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Jawa. Selain itu wayang juga
mengandung ajaran filsafat dan simbolisme yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Jawa. Fungsi
wayang antara lain sebagai sarana untuk mengajarkan budi pekerti kepada masyarakat dan
juga sebagai sarana untuk berdakwah atau penyebaran agama. Sedangkan di masa lampau, wayang berfungsi
sebagai sarana penyembahan kepada nenek moyang.
Budaya Jawa sangat kental dengan ciri khas menghidupi keselarasan dalam
hidup bermasyarakat. Dari nilai-nilai filosofis dan simbolis yang terkandung
dalam wayang serta fungsi-fungsinya, wayang juga mendorong masyarakat Jawa
untuk senantiasa menghidupi prinsip keselarasan yang dicita-citakan.
Tulisan ini hendak membahas beberapa hal tersebut di atas: asal-usul
wayang, nilai-nilai filosofis dan simbolis yang terkandung dalam wayang, fungsi wayang
dalam kehidupan masyarakat Jawa serta relasi antara wayang dan prinsip
keselarasan.
B.
Asal-usul
Wayang dalam Masyarakat Jawa
Secara historis, wayang pada
dasarnya merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang sangat tinggi nilainya
walaupun reportoirenya bersumber pada epos India (Ramayana dan Mahabarata) . Bentuk
wayang di Jawa digarap berdasarkan sikap kebudayaan Jawa. Sementara itu, menurut Clair Holt pertunjukan
wayang mulai dikenal dan dipagelarkan sejak zaman Balitung sekitar tahun 907 M.
Di sisi lain, J. Brandes menyatakan bahwa wayang sudah di kenal di Indonesia sejak
zaman Prapanca, yakni sekitar tahun 778 M, sedangkan Robert von Heine Geldern
dan K.A.H. Hidding menyatakan bahwa wayang sudah di pagelarkan sejak zaman
Megalitik (150 SM).[8]
Seperti halnya Brandes, G.A.J.
Hazeu berpendapat bahwa wayang berasal dari jawa. Ia
sependapat dengan Brandes. Argumentasi yang diungkapkannya ialah sebagai
berikut: Pertama, struktur lakon wayang digubah menurut model yang amat tua.
Kedua, cara bercerita dalang juga mengikuti tradisi yang amat tua. Ketiga,
desain teknis, gaya dan susunan-susunan lakon juga bersifat khas Jawa. Menurut
Hazeu, wayang tentunya tumbuh dari upacara-upacara penyembahan kepada nenek
moyang. Pendapat-pendapat Hazeu tersebut seolah sangat meyakinkan bahwa wayang
memang berasal dari Jawa.[9]
J. Kats mempunyai teori
yang serupa dengan Hazeu antara lain: istilah-istilah wayang merupakan khas
istilah Jawa, wayang sangat erat hubungannya dengan budaya Jawa, misalnya
penyembahan nenek moyang. Dalam perkembangannya, wayang sangat dipengaruhi oleh
pengaruh agama-agama modern monoteis terutama Islam. Agama-agama modern monoteis mempergunakan wayang sebagai sarana
berdakwah
atau penyebaran agama. Sedangkan pada zaman Indonesia Merdeka, wayang lebih
dianggap sebagai suatu kesenian, yakni seni teater total yang tidak hanya
berfungsi sebagai hiburan tetapi juga pendidikan budi pekerti.[10]
C.
Ajaran
Filosofis dan Simbolis
Bagi masyarakat Jawa, dalam dunia pewayangan terkandung suatu ajaran
filsafat dan simbolisme kehidupan manusia.[11] Kata
filsafat berasal dari Bahasa Yunani philosophia
yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Sementara itu, para pelaku filsafat
disebut sebagai filsuf yang juga berasal dari kata Yunani philosophos. Kedua kata tersebut sudah digunakan sejak zaman
Sokrates dan Platon, yakni sekitar abad ke-5 SM. Tujuan filsafat adalah untuk
mencari dan mengungkapkan kebenaran. Dalam filsafat Jawa bagi orang-orang yang
membahas dunia pewayangan tidak pernah ditemukan kesamaan pendirian dan
pendapat karena titik tolaknya berlainan.[12]
Pertunjukkan wayang kulit tidak hanya merupakan kesenian semata, tetapi
juga telah menjadi kesenian sakral atau
sakti yang tetap merupakan bagian dari kebudayaan Jawa. Wayang kulit yang
dimainkan oleh seorang dalang tidak hanya menggambarkan manusia, tetapi juga
menggambarkan bayangan dari manusia.[13]
Dalam khazanah kitab klasik pewayangan terdapat ungkapan-ungkapan yang mengandung filsafat dan yang ada kaitannya
dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan
Penciptanya. Pengertian filsafat bagi orang Jawa lebih berarti menjelajahi
alam irasional. Bagi dunia kejawen, alam mistik dan filsafat telah menyatu.
Maksudnya adalah dunia pewayangan bagi orang Jawa memberi peluang untuk
melakukan pengungkapan falsafi dan mistis sekaligus.[14]
Sementara itu, Banyak hal
yang secara simbolis digambarkan dalam wujud wayang karena wayang merupakan
simbolisme kehidupan manusia. Simbolisme yang dominan dalam perwujudan wayang ditandai dengan prasasti
yang berbentuk candra sengkala yakni suatu tanda yang menunjukkan tahun
pembuatan dan apa makna hasil karya ciptaan tersebut. Dengan demikian, wayang hendak mengejawantahkan
bentuk bayang-bayang pribadi manusia secara simbolis, baik dalam bentuk tinggi
besarnya tokoh maupun dalam bentuk tinggi rendahnya watak wayang.[15]
Wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat rohaniah
daripada jasmaniah. Jika orang melihat pagelaran wayang, yang dilihat bukan
wayangnya melainkan masalah yang tersirat dalam lakon wayang itu. Hal ini
menandakan kalau wayang menjadi semacam cermin kehidupan masyarakat Jawa di
mana dengan melihat pagelaran, masyarakat diajak untuk melihat sifat-sifat asli
mereka.[16]
Dalam kisah Mahabarata, dikenal sosok Yudistira, anak tertua di antara
Pandawa. Ia digambarkan sebagai seorang yang bersifat sabar, dapat menguasai
nafsu, menerima segala watak orang lain. Ini menjadi simbol anak tertua yang
luruh, kalau bicara sangat hati-hati dan tidak pernah memukul atau menyakiti serta apa saja yang diminta orang
lain, akan selalu diberikan. Putra kedua Pandawa, Bima digambarkan sebagai
seorang yang mempunyai tubuh besar dan gagah perkasa sebagai tiang pokok
keluarga pandawa. Ini merupakan simbol seorang yang sangat setia dan teguh pada
tekadnya. Satu lagi sosok Arjuna. Ia digambarkan sebagai seorang yang berparas
tampan. Tokoh Arjuna merupakan simbol dari seorang yang bertingkah laku
sederhana atau prasaja.[17]
Wayang sebagai sebuah pertunjukkan merupakan ungkapan dan peragaan
pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang seperti bahasa,
gerak, suara, warna dan rupa. Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius
kuno seperti masih adanya mitos-mitos dan ritus yang terdapat dalam lakon
ruwat.[18] Berikut ini adalah beberapa contoh tokoh dalam
pewayangan yang mencerminkan pengalaman religius dan mistik.
1.
Bima
Gambar 1: Bima
|
Melalui penglihatan yang memuncak, Bima
menemukan air kehidupan yang ia cari yakni sangkan-paraning
dumadi atau asal usul dirinya sendiri. Sangkan-paran itu ialah Yang Ilahi
sendiri. Dengan kata lain, Bima telah mencapai manunggaling kawula Gusti (persatuan hamba Tuhan). [19] Konsep manunggaling kawula Gusti atau
kesatuan manusia dengan Tuhan yang dipergunakan sebagai gambaran ialah curiga manjing warangka, warangka manjing
curiga, yakni manusia masuk ke dalam diri Tuhan seperti Bima masuk ke dalam
diri Dewa Ruci atau Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya
Wisnu yang menitis dalam diri Kresna.[20]
2.
Arjuna
Gambar 2: Arjuna
|
3.
Rahwana
Gambar 3: Rahwana
|
Bagi sebagian besar orang Jawa, wayang mempunyai arti tersendiri dalam
kaitannya dengan kehidupan serta penghidupan mereka. Salah satu aspek dalam
dunia pewayangan adalah sifat keturunan. Keturunan ini diwariskan oleh orang
tua pendahulu yang dalam bahasa ilmiah disebut genetika.[23]
Seperti dalam contoh Bima, menurut cerita Bima adalah anak dari Batara
Bayu dan Dewi Kunthi. Oleh sebab itu, wujud Bima memperlihatkan sifat-sifat
ayahnya yang teguh pada pendirian dan kuat. Selain Bima, putranya Gatotkaca
memiliki bentuk tubuh dan rupa raksasa dalam wujud gigi taring karena ibunya, Arimbi ialah
raksasa, putrid raja Prabu Tembaka. Selain itu, Gatotkaca
juga mewarisi bentuk tubuh dan rupa ayahnya, Bima. [24]
Gambar 4: Gatotkaca, Bima dan Batara Bayu
|
Sifat keturunan telah dikenal oleh orang Jawa sejak munculnya wayang.
Dalam perwujudan wayang kulit purwa, sifat anak selalu digambarkan memiliki
kemiripan dengan sifat orang tuanya. Kemiripan sifat-sifat itu tampak dalam
bentuk rupa atau suara yang diucapkan oleh dalang. Sebagai contoh, kita dapat
melihat contoh kemiripan antara Bima dan Gatotkaca. [25]
D.
Peran
Wayang dalam Budaya Jawa
1.
Wayang sebagai Pendidikan Budi Pekerti
Wayang tidak saja merupakan salah satu sumber pencarian nilai-nilai
yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa tetapi juga merupakan salah
satu wahana pendidikan budi pekerti bagi masyarakat Jawa. Wayang mengajarkan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang tidak hanya teoritis melainkan juga konkret
dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya sebagai teladan. Wayang juga tidak
mengajarkan nilai-nilainya secara kaku atau akademis, melainkan mengajak
masyarakat untuk berpikir sendiri dan menemukan sendiri nilai-nilai yang
terkandung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai pendidikan budi
pekerti yang diajarkan ialah secara total dan informal.[26]
2.
Wayang sebagai Sarana Dakwah
Cerita-cerita dalam dunia pewayangan merupakan kisah-kisah dari kitab
suci agama Hindu. Dari masa ke masa, kisah-kisah pewayangan menanamkan
pengaruhnya yang kuat pada kejiwaan masyarakat Jawa sehingga dunia pewayangan
merupakan dunia sendiri yakni dunia
kejawen. Karena dunia pewayangan mengandung filsafat yang dalam, maka memberi
peluang untuk melakukan pengajian falsafi dan mistik sekaligus. Pengajian
kebenaran filsafat dilakukan melalui rasio plus indra batin, sehingga filsafat
bagi orang Jawa ada kalanya menjelajahi alam irasional atau alam mistik
(Sunarto Timur: Filsafat dan simbolik dalam sastra pewayangan).[27]
Hal tersebut sangat dimaklumi karena agama Hindu masuk ke Pulau Jawa
pada abad pertama masehi sebelum tahun saka (tahun Jawa) yang bermula pada
tahun 78 M. Kemudian disusul oleh agama Budha sehingga kedua agama tersebut
semakin kukuh semenjak zaman kerajaan Kalingga pada abad VII M dan berkembang
pada masa kerajaan Mataram Pertama (abad VIII dan IX M). Pada zaman Majapahit
(1293-1528), sinkronisasai agama Hindu-Budha mulai agak surut karena Maulana
Malik Ibrahim menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam dilakukan
oleh Wali Sanga yang terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati dan Syeh
Sitijenar.[28]
E.
Wayang dan Prinsip Keselarasan
Sebagai
salah satu jenis kesenian, wayang tidak hanya sekadar menjadi sarana hiburan
melainkan mengandung nilai-nilai filosofis dan ajaran moral bagi masyarakat
Jawa. Hal itu berarti bahwa keberadaan wayang dalam budaya Jawa memberi
penegasan bahwa prinsip keselarasan hidup tetap dijunjung tinggi.
Konsep yang dihidupi masyarakat Jawa ialah hidup yang mengutamakan
keselarasan. Budaya Jawa memiliki identitas tersendiri yang dilandasi oleh
nasihat-nasihat dari nenek moyang secara turun-temurun. Nasihat-nasihat itu
berbentuk ungkapan-ungkapan. Tujuan yang ingin dicapai dari ungkapan-ungkapan
itu adalah timbulnya kehidupan yang tenang, ayem
tenterem kerta raharja yang tak pernah bisa diukur dari harta benda, tetapi
dari hati. Sumber budaya Jawa berpusat pada pendidikan budi pekerti atau budi
luhur. Oleh karena itu para orang tua sangat memperhatikan pendidikan
anak-anaknya dalam hal ini. Tujuan yang ingin dicapai adalah kedamaian,
keakraban dan kekeluargaan.[29]
Keselarasan ini merupakan sebuah nilai dasar yang ingin dihidupi oleh
masyarakat Jawa. Nilai ini bertitik tolak dari anggapan bahwa masyarakat
tersusun secara heirarkis. Oleh sebab itu, dalam berbicara dan membawakan diri,
masyarakat
Jawa selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan
derajat dan kedudukannya. (Seperti ditulis oleh Ann Willner).[30]
Pandangan ini berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat itu
sudah teratur secara hierarkis. Hal kedua yang harus dituntut untuk mencapai
keselarasan ialah sikap rukun antar masyarakat supaya tidak menimbukan
perpecahan.[31]
Prinsip keselarasan itu secara
simbolis terungkap dalam wayang.
F.
Penutup
Dalam mencari nilai-nilai luhur, salah satu bentuk karya seni yang dapat
dipakai sebagai sumber pencarian nilai-nilai adalah seni wayang karena di
dalamnya terdapat berbagai ajaran dan nilai-nilai moral. Budaya Jawa terus
berusaha menjaga kesenian yang mengandung ajaran budi pekerti dan memiliki
peran yang vital dalam penyebaran agama tersebut. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa keberadaan wayang merupakan representasi nilai keselarasan
yang menjadi nilai dasar masyarakat Jawa. Di dalam wayang terdapat nilai
keselarasan budaya Jawa dan di dalam budaya Jawa, wayang menjadi sarana untuk
menjaga nilai keselarasan itu.
Daftar
Pustaka
Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis
dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Astiyanto, Heniy. Filsafat Jawa.Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.Haryanto, S. Bayang-Bayang Adhiluhung. Semarang:
Dahara Prize, 1995.
Magnis-Suseno, Franz. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Mulyono, Sri. Wayang. Jakarta:
Gunung Agung, 1978.
Willner, Ann Ruth. “The Neotraditional
Accomodation to Independence: The Case of Indonesia.” In Cases in
Comparative Politics: Asia, edited by Lucian W.
Pye. 1970. Boston: Little, Brown and
Company, 242-306. Dikutip oleh
Franz Magnis-Suseno, dalam Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991, 73.
Wiyasa Bratawijaya, Thomas. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.
Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997.
Sumber-Sumber Lain
Gambar 1
Budi Adi Soewirjo. 2012. “Bima
– Tokoh Wayang.” <http://tokohwayangpurwa.wordpress.com/2012/07/20/bima-khasanah-tokoh-wayang/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul
16.30 WIB)
Gambar 2
Budi Adi Soewirjo. 2012.
“Arjuna – Khazanah Tokoh Wayang.” <http://tokohwayangpurwa.wordpress.com/2012/07/20/arjuna-khazanah-tokoh-wayang/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.35 WIB)
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.35 WIB)
Gambar 3
Anonim. 2010. “Rahwana.” <http://wayang.wordpress.com/2010/03/13/rahwana/> (Diunduh pada tanggal 20 November 2013
pukul 16.40 WIB)
Gambar 4
Anonim. 2008. “Raden
Gatotkaca.” <http://wayangku.wordpress.com/2008/10/13/raden-gatotkaca/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul
16.45 WIB)
Budi Adi Soewirjo. 2012. “Bima
– Tokoh Wayang.” <http://tokohwayangpurwa.wordpress.com/2012/07/20/bima-khasanah-tokoh-wayang/>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul
16.50 WIB)
Anonim. Tidak Tercantum Tahun.
“Batara Bayu.” <http://pitoyo.com/duniawayang/galery/details.php?image_id=163>
(Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul
16.55 WIB)
[7] Lakon yang menceritakan penyucian diri Dewi
Sinta dengan cara masuk ke dalam perapian setelah Rama berhasil mengalahkan
Rahwana.
[9] Hazim Amir, Nilai-Nilai
Etis dalam Wayang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 24. Bdk. Sri Mulyono, Wayang, (Jakarta: Gunung Agung,
1978), 5-11.
[16] Heniy Astiyanto, 317.
[20] Franz Magnis-Suseno,
Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 48-50. Bdk. Heniy Astiyanto, 357.
[29] Thomas Wiyasa
Bratawijaya. Mengungkap dan Mengenal
Budaya Jawa, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997), 56.
[30] Ann Ruth Willner,
“The Neotraditional Accomodation to Independence: The Case of Indonesia.” In Cases in Comparative Politics: Asia, edited by Lucian W. Pye. 1970 (Boston: Little, Brown and Company), 242-306. Dikutip oleh Franz Magnis-Suseno, 73.
Commentaires
Enregistrer un commentaire