Producing Creativity with Common Sense
Producing
Creativity
with
Common Sense
Antonius
Siwi Dharma Jati (XII-IPA/02)
Seorang manusia tercipta dan hadir di dunia ini
dengan memiliki suatu kekhasan tertentu. Hal ini disebut kekhasan karena tidak
dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Di alam ini, manusia termasuk kingdom binatang/ animalia yang hidup berdampingan dengan tumbuhan/ plantae dan juga protista. Ketiga kingdom tersebut
adalah jenis–jenis makhluk hidup yang terdapat di bumi ini. Walau termasuk kingdom animalia dengan kata lain dapat
disebut binatang, manusia memiliki sebuah keistimewaan yang membuat martabat
manusia menjadi paling tinggi di antara makhluk hidup lainnya. Apakah kekhasan
yang dimiliki oleh manusia itu?
Keistimewaan manusia terletak pada akal budi yang
telah dimilikinya. Sebagai umat beriman, kita meyakini bahwa akal budi itu
telah dianugerahkan Tuhan semenjak terjadi peleburan antara sel kelamin jantan/
sperma dengan sel kelamin betina/ ovum yang membentuk zigot di tuba falopi seorang ibu. Akal budi adalah anugerah Tuhan
yang paling istimewa kepada kita sebagai manusia, karena dengan anugerah inilah
manusia dapat dikatakan sebagai citra Allah (bdk. Kej 1:26).
Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mampu
“berkreasi” tentang sesuatu hal yang besar. Seperti apakah hal besar yang dapat
dilakukan manusia? Tentunya kita tahu mengenai temuan Albert Einstein yang
telah mengejutkan dunia lewat
dalil-dalilnya dan rumus Q=mC2 yang ia ciptakan sebagai rumus energi
reaksi inti atom. Atau Joseph Henry seorang fisikawan Amerika (1957-1878) yang
mengembangkan desain elektromagnet dan membangun satu dari motor-motor pertama.
Atau Louis Pasteur seorang penemu asam tartar yang terbentuk dari fermentasi
anggur yang akhirnya berbuah kesimpulan bahwa setiap makhluk hidup memiliki
molekul yang dapat terpolarisasi. Dan tentunya masih banyak lagi tokoh-tokoh
dunia yang mampu berkreasi menggunakan akal budinya sehingga berhasil
menciptakan hal-hal besar. Contoh-contoh di atas menunjukkan fungsi akal budi
manusia.
Dengan akal budinya, manusia mampu berpikir dan terus
berpikir. Pikiran manusia begitu luas dan tidak terbatas ruang dan waktu.
Dengan daya imajinasinya, manusia dapat membuat terobosan-terobosan spektakuler
dan inilah awal dari sebuah penemuan besar itu. Setelah mampu berpikir, manusia
akan semakin mengerti dan menyadari akan dirinya sendiri maupun dunia
sekitarnya. Oleh karena itulah, segala hal yang telah dilakukannya dapat
direfleksikan kembali. Suatu kesadaran diri yang sudah matang akan membawa
manusia pada sebuah kreasi.
Sebuah kreasi dapat diartikan sebagai wujud pengembangan
diri manusia dengan akal budinya. Inilah pokok dari segala yang telah
dilakukannya. Manusia dapat bertanya tentang segala sesuatu yang dijumpainya
dalam hidup sehari-hari dan memimpikan sesuatu untuk diwujudkan.
Penemuan-penemuan besar dan mengagumkan yang membawa perubahan besar dalam
peradaban manusia muncul dari akal budi ini.
Apabila kita kontekstualisasikan dengan kehidupan
kita sebagai Seminaris saat ini, apakah kita sudah dapat menggunakan akal budi
kita untuk berkreasi? Atau sampai pada tingkat manakah akal budi itu kita
gunakan? Apakah baru sampai pada tingkat berpikir? Ataukah sampai pada tingkat
menyadari? Ataukah sudah mencapai tingkat berkreasi?
Sebagai seorang seminaris, seharusnya kita sangat
bersyukur karena di tempat “pembibitan”
ini, kita telah diajak untuk menggunakan akal budi itu untuk menjadi manusia
seimbang dan multidimensional. Entah disadari ataupun tidak dalam hidup harian
kita, segala aspek baik itu intelektualitas maupun humaniora telah kita asah.
Organ tubuh yang menjadi pengendali utama akal budi adalah otak. Dalam proses
metabolisme tubuh, otak membutuhkan makanan 20% dari seluruh makanan yang kita
konsumsi setiap hari. Semua itu disebabkan karena kerja otak yang begitu keras.
Semakin sering otak itu diasah, maka akal budi kita akan semakin berfungsi
dengan baik.
Salah satu indikasi bahwa akal budi seminaris telah
berfungsi dengan baik adalah “berkreasi”. Berkreasi berarti menciptakan
sesuatu. Apakah suatu penciptaan itu harus berbentuk benda berwujud? Barangkali
contoh-contoh para ilmuan yang telah disebutkan di atas terlalu menyoroti
sebuah kreasi yang identik dengan barang berwujud. Akan tetapi sebenarnya
sebuah penciptaan itu tidak harus berupa barang berwujud. Lihatlah Nabi Elia?
Dialah utusan Tuhan yang setia menjalankan segala yang dikehendaki-Nya walaupun
sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan dirinya sendiri yang lebih senang
bekerja di bengkel tukang kayunya. Dengan kesetiaannya itu, Malaikat Tuhan
menganggap Elia telah berhasil menjalankan tugas yang dikehendaki Tuhan. Dialah
Sang kreator. Walaupun ciptaannya tidak tampak oleh mata telanjang berupa
barang-barang, tetapi Elia telah menjadi kreator bagi karya Tuhan.
Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
suatu kreasi itu tidak selalu dalam hal yang besar. Hal yang tidak besar di
mata manusia belum tentu tidak besar di mata Tuhan. Dalam hidup sehari-hari,
kita bisa meneladan nabi Elia dengan taat, setia dan juga disiplin dalam
menjalankan acara harian sebagai seminaris. Apabila hal-hal yang sederhana itu
kita laksanakan dengan kesungguhan hati, semuanya akan menjadi hal yang besar.
Dalam Kej 3:32 tertulis : “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi satu dari kita, tahu tentang
yang baik dan yang jahat.” Dengan berkreasi, kita telah menggunakan
anugerah Tuhan yang terindah itu untuk kembali memuliakan-Nya. Akal budi
sebagai sesuatu kekhasan yang membuat martabat kita menjadi lebih tinggi
daripada makhluk lain ini memang harus digunakan sebaik-baiknya. “Manusia diciptakan untuk memuji,
menghormati dan mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu ia menyelamatkan
jiwanya.”(LR. No 23). Tuhan kita, Yesus Kristus sendiri sering berbicara
secara implisit mengajak manusia untuk mempergunakan akal budinya.. Antara lain
Tuhan berkata: “Hendaklah kamu cerdik
seperti ular” (Mat 10:16). Paling tidak kita sudah dapat menggunakan akal
budi kita dengan sebaik-baiknya karena segala yang telah kita pikirkan, sadari
dan ciptakan adalah hal-hal yang positif. Semua itu sudah cukup untuk merubah
dunia.
Oleh karena itu marilah kita “berkreasi” dalam
hal-hal yang sederhana karena berawal dari situ, perubahan-perubahan besar akan
terjadi. Kita adalah kreator. Dengan akal budi yang dianugerahkan Tuhan, kita
diajak untuk menjadi kreator kehidupan kita untuk memuliakan-Nya. Sudahkah kita
mampu berpikir dan menyadari keadaan diri kita dengan akal budi yang kita
miliki? Seandainya sudah marilah menuju langkah selanjutnya yaitu berkreasi.
Producing Creativity
RépondreSupprimer