Kawah Candradimuka untuk Rakyat Miskin


Kawah Candradimuka untuk Rakyat Miskin
Antonius Siwi DJ

Pemerintah Indonesia pada akhirnya mengambil jalan untuk mencabut subsidi BBM dengan cara menaikkan harga sehingga dapat menyelamatkan perekonomian makro negara. Sebagai obat bius untuk ngeneng-enengi[1]  rakyat, maka diberikanlah BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM.
  Langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk mencabut subsidi BBM demi menyembuhkan defisit ekonomi makro memang sangat tepat dan logis pada saat ini, karena subsidi BBM yang terlalu besar akan dapat meningkatkan hutang negara dan menurunkan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, rakyat miskin dipaksa untuk sengsara dan menanggung hidup yang berat, supaya mereka bisa menjadi lebih kuat. Barangkali itulah yang menjadi pandangan pemerintah, yang melalui menteri keuangannya mengatakan, “Memang untuk sementara masyarakat pasti shocked akibat kenaikan harga kebutuhan pokok, tetapi lama-lama juga akan biasa dan menganggap semuanya normal-normal saja.” Itu artinya rakyat miskin seolah-olah diandaikan seperti manusia super kuat yang mampu bertahan dalam kesengsaraan.

Bagi rakyat golongan menengah ke atas yang pro-ekonomi, kebijakan ini tidak terlalu bermasalah karena toh mereka tetap bisa hidup dengan upah mereka yang besar, biarpun harga BBM naik. Namun, bagi rakyat miskin, kenaikan harga BBM dan pemberian BLSM hanya akan menjadi seperti kawah Candradimuka. Kawah Candradimuka adalah tempat jabang bayi Tutuka, anak Bima, pernah digembleng oleh Batara Empu Anggajali, sehingga bayi itu tampil sebagai ksatria perkasa bernama Gatotkaca dalam cerita pewayangan.[2] Dengan kata lain, rakyat kecil seolah-olah harus mengalami kesakitan kawah Candradimuka terlebih dahulu untuk selanjutnya merasa biasa dengan penderitaan dan sejenisnya.
 Persoalan penderitaan rakyat semakin nampak jelas dari kebijakan pemberian BLSM kepada rakyat miskin yang hanya berjumlah Rp 150.000, 00/bulan dan berlangsung selama 4 bulan, sementara harga BBM melambung tinggi[3]. Jika menaikkan harga BBM dianggap sebagai pilihan terakhir dan terbaik, hal ini sangat tidak bijaksana juga karena mengorbankan satu pihak, yakni rakyat miskin.  Tentu saja, kenaikan harga BBM ini akan menimbulkan inflasi yang cukup besar dengan adanya kenaikan harga bahan-bahan pokok, ongkos transportasi dan lain-lain. Kenyataan ini jelas sangat mencekik rakyat miskin yang tidak mungkin mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari dengan BLSM.  Solusi yang jauh lebih baik dibandingkan menaikkan harga BBM ialah menaikkan pajak. Dampak inflasi dari kebijakan menaikkan pajak tentu tidak sebesar jika menaikkan harga BBM.

Indra Tranggono dalam artikel “Balsem” untuk Rakyat Miskin (Kompas, 6 Juli 2013) mengatakan bahwa saat ini membicarakan penderitaan rakyat miskin dianggap tidak relevan berdasarkan hitungan matematika ekonomi liberal. Dengan demikian, secara tidak langsung pemerintah memaksa rakyat miskin untuk nrima ing pandum[4]. Akibatnya, rakyat miskin akan semakin powerless dan hanya bisa memandangi kekuatan besar pemerintah mencekik kekuatan kecil mereka. Pada akhirnya, rakyat miskinlah yang akan menjadi korban kebijakan ini dan mereka hanya bisa ngelus dada[5], sambil meratapi pemerintah yang barangkali harus selalu kejam mengajari rakyat untuk kuat dengan menceburkannya dalam kawah Candradimuka.  








[1] Jawa: Menenangkan hati
[4] Jawa: Ikhlas menerima jatah
[5] Jawa: Mengelus dada/meratapi

Commentaires

Articles les plus consultés